(Yogyakarta, 13/2/2025) – Taman Budaya Yogyakarta menyelenggarakan acara Sarasehan Sastra bertajuk "Yogyakarta Ibu Kota Buku Sastra". Acara yang digelar di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta ini berhasil menarik perhatian para praktisi, akademisi, sastrawan, dan masyarakat umum. Sarasehan Sastra bertujuan untuk merayakan usia 270 tahun Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kaya akan tradisi dan produk kebudayaan, sekaligus menggali lebih dalam ekosistem sastra yang berkembang di kota ini.
Sarasehan ini mengangkat tema "Menilik Ekosistem Penulis, Penerbit, Pedagang, Pembaca, hingga Arsip Buku Sastra." Tema ini dipilih untuk menggali hubungan erat antara penulis, penerbit, pedagang buku, pembaca, hingga arsip sastra di Yogyakarta. Dengan tema ini, Taman Budaya Yogyakarta ingin memperkuat posisi kota ini sebagai pusat kesusastraan yang menjadi referensi utama bagi dunia penerbitan dan perbukuan di Indonesia.
Sarasehan Sastra menghadirkan empat narasumber berpengalaman di dunia sastra dan penerbitan, yaitu Indrian Koto, Bagas Setia Wicaksana, Sukandar, dan Latief S. Nugraha. Keempat narasumber ini membahas berbagai topik menarik tentang dunia sastra, mulai dari penulisan, penerbitan, hingga tantangan yang dihadapi oleh penulis dan penerbit di era digital.
Sesi diskusi yang penuh antusiasme ini dipandu oleh moderator Raihan Robby dan dihadiri oleh Gilang Alamsyah sebagai pewara. Dalam setiap sesi, para narasumber memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana dunia sastra terus bertransformasi, serta tantangan yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana penerbitan sastra kini mulai bergeser ke dunia digital, seiring dengan peningkatan penggunaan e-book dan platform online lainnya.
Bagas Setia Wicaksana, pemilik toko buku Ruang Melamun yang menjual buku-buku langka dan lawas di Yogyakarta, berbagi cerita mengenai tantangan yang dihadapi para penulis dan penerbit. Bagas menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya ruang untuk berekspresi dan berbagi karya dengan khalayak yang lebih luas. Meskipun banyak kreator sastra di Jogja yang aktif, mereka sering merasa harus terus mencari cara baru untuk menghadirkan karya mereka agar diterima oleh masyarakat.
"Saya membayangkan Jogja itu seperti dapur yang sumuk, yang isinya banyak juru masaknya, tetapi mereka masih merasa kurang. Kadang mereka harus selalu muncul dengan sesuatu yang baru, dan dari imajinasi itu, Ruang Melamun bisa ada sampai hari ini," ujar Bagas.
Sukandar, seorang penerbit senior, memberikan pandangan mengenai tantangan dunia penerbitan di Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa meskipun tantangan ekonomi tidak bisa diabaikan, semangat untuk mempertahankan keberlanjutan penerbitan sastra adalah hal yang tak ternilai.
"Kalau ditanya omzet, akhirnya dengan jawaban wong ndeso 'penting mlaku atau jalan', meskipun dengan getih dan adus kringet. Tetapi kalkulasi-kalkulasi tetap ada, dan kita terus mengupayakan supaya karena sudah berjanji pada diri sendiri hidup mati bersama penerbit. Itu spirit yang tidak bisa dikalkulasi," ujar Sukandar.
Keberadaan Yogyakarta sebagai pusat kesusastraan di Indonesia tidak hanya dilihat dari jumlah karya sastra yang dihasilkan, tetapi juga dari kemampuannya untuk mempertahankan identitas budaya lokal sembari beradaptasi dengan perkembangan zaman. Indrian Koto, seorang sastrawan dan editor, menambahkan sudut pandang mengenai peran Yogyakarta dalam menghadapi perubahan zaman dalam dunia sastra. Menurutnya, meskipun perkembangan teknologi dan budaya luar turut memengaruhi, Yogyakarta tetap mampu menjaga ekosistem sastra yang kaya dan unik.
“Saya kira kita tidak perlu terlalu khawatir soal dampak serangan dari ranah yang lain karena masing-masing hidup dengan ekosistemnya sendiri. Jogja ada kulinernya, ada pariwisatanya, dan buku belakangan ini mulai memetakan dan ada upaya untuk kemudian menjadikan wisata buku,” ungkap Indrian.
Peran media alternatif seperti e-book dan platform digital memberikan wajah baru bagi dunia penerbitan sastra. Hal ini menunjukkan bahwa sastra tidak hanya berkembang melalui cara konvensional, tetapi juga melalui transformasi digital yang memungkinkan akses lebih luas ke karya-karya sastra. Dengan dukungan teknologi ini, dunia sastra Indonesia, termasuk yang berkembang di Yogyakarta, semakin berkembang dan mampu menjangkau pembaca dari berbagai kalangan.
Taman Budaya Yogyakarta berkomitmen untuk terus mendukung dan memfasilitasi ekosistem kesastraan yang terus berkembang di kota ini. Melalui Sarasehan Sastra 2025, mereka berharap acara ini dapat menjadi platform yang melahirkan diskusi yang memperkaya wacana sastra dan memberikan dampak positif bagi dunia perbukuan di Yogyakarta dan Indonesia secara keseluruhan. Sarasehan Sastra ini juga menjadi momen penting dalam memantapkan posisi Yogyakarta sebagai "Ibu Kota Buku Sastra," yang menjadi tempat bertumbuhnya karya-karya sastra yang akan terus menginspirasi generasi mendatang.