(Yogyakarta, 3/10/2025) — Semangat melestarikan warisan budaya tak benda dunia, Batik, kembali bergema di halaman barat Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Kamis (2/10), puluhan peserta dari berbagai kalangan anak-anak, remaja, hingga dewasa ikut serta dalam kegiatan membatik bersama yang diselenggarakan oleh Art for Children (AFC) kelas Batik. Kegiatan ini menjadi bagian dari peringatan Hari Batik Nasional ke-16, dengan mengusung tema “Bangga Berbatik: Ajining Raga Saka Busana”, yang bermakna bahwa nilai dan kehormatan diri seseorang tercermin dari busana yang dikenakannya.

Simbol 16 Meter dan Makna Filosofis Busana

Dalam kegiatan membatik bersama tersebut, panitia memilih kain berukuran 16 meter sebagai media utama. Angka ini bukan tanpa alasan, melambangkan usia peringatan Hari Batik Nasional sejak batik ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009.

Proses membatik dilakukan dengan berbagai teknik, mulai dari nglowong menggunakan canting klowong untuk menghasilkan garis-garis halus dan mendetail, hingga penggunaan kuas untuk menciptakan pola yang lebih ekspresif dan mudah diakses oleh pemula. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang belajar teknis, tetapi juga sarana menanamkan nilai-nilai kesabaran, ketelatenan, dan kreativitas dalam berkarya.

Menjelang sore, acara dibuka secara resmi dengan seremoni simbolis yang sarat filosofi busana Jawa. Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, bersama Kepala TBY, Purwiati, memimpin prosesi bleaching, memoleskan cairan pemutih di atas kain hitam. Perlahan, tulisan bertema acara, “Bangga Berbatik: Ajining Raga Saka Busana”, muncul di permukaan kain. Momen tersebut menjadi simbol bahwa nilai luhur dan identitas sejati manusia muncul dari dalam diri, sebagaimana busana menjadi cerminan moral dan kepribadian dalam budaya Jawa.

Warna-Warni Kolaborasi dan Keuletan dalam Membatik

Setelah seremoni, suasana menjadi semakin semarak saat sesi mewarnai bersama dimulai. Bu Dian dan Bu Purwiati menjadi yang pertama menorehkan warna di atas pola batik yang sebelumnya telah dicanting oleh anak-anak AFC. Tak lama, peserta lain turut berpartisipasi, menciptakan hamparan kain penuh warna yang hidup dan menggambarkan semangat kolaborasi lintas usia.

Dalam sambutannya, Dian Lakshmi Pratiwi menyampaikan rasa syukur dan apresiasinya kepada AFC kelas Batik serta mentor batik, Nur Rohmad, atas dedikasi mereka dalam mengajarkan batik kepada generasi muda.

“Satu hal kami mengucapkan terima kasih kepada Art for Children (AFC), khususnya dengan kelas batik,” ujar Dian.

Ia menambahkan, melalui proses membatik, nilai-nilai luhur seperti ketelatenan, keuletan, dan makna di balik setiap goresan malam dapat ditanamkan sejak dini.

“Kita berharap bahwa behind the scene dari batik ini nilai-nilainya, makna-maknanya, ketelatenan dan keuletan yang terlibat di dalam proses itu menjadi bagian dari penguatan bersama dan terinternalisasi dalam sikap serta perilaku anak-anak kita,” tegasnya.

Antusiasme dan Harapan dari Masyarakat

Kegiatan membatik bersama ini juga mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Salah satunya datang dari Citra, orang tua dari Quinsha, peserta kelas batik AFC.

“Menyenangkan dan excited melihat anaknya membatik, ini pengalaman baru dan berharga,” ujarnya dengan antusias.

 Ia berharap agar batik semakin dikenal luas dan dicintai oleh masyarakat Indonesia.

“Harapan ke depan, semoga batik semakin mendunia, dan kita sebagai bangsa Indonesia makin mencintai batik, karena batik adalah keindahan dan kebanggaan bagi kita sendiri,” tambahnya.

Transisi Seni: Dari Batik ke Tari Kontemporer

Menariknya, perayaan ini tidak berhenti pada proses membatik. Sore menjelang malam, halaman TBY berubah menjadi panggung ekspresi seni lintas generasi. Empat koreografer muda menampilkan tari kontemporer yang terinspirasi dari motif dan filosofi batik, diikuti dengan pertunjukan shadow batik, yang memadukan siluet wayang dengan visualisasi motif batik.

Kedua pertunjukan ini menjadi jembatan antara seni tradisi dan seni modern, menegaskan bahwa batik tidak hanya sebatas warisan, melainkan juga sumber inspirasi yang terus hidup dalam berbagai bentuk ekspresi seni.

Penampilan ini juga menjadi pengantar menuju acara puncak malam hari, yaitu “Ekspresi Seni Kontemporer Lintas Generasi” di Gedung Societet Militer TBY, menandai perayaan batik yang tak hanya tradisional, tapi juga progresif dan adaptif terhadap zaman.

Menjaga Warisan, Merajut Identitas

Menutup rangkaian acara, Dian Lakshmi menyampaikan harapan besarnya bagi keberlanjutan batik Indonesia.

“Selamat Hari Batik Internasional 2025. Semoga batik terus lestari, berkembang, dan menjadi kekuatan identitas bagi Daerah Istimewa Yogyakarta,” ujarnya.

Melalui kegiatan yang penuh makna ini, Taman Budaya Yogyakarta menegaskan komitmennya sebagai ruang kreatif dan edukatif dalam menjaga keberlangsungan batik sebagai warisan budaya bangsa. Peringatan Hari Batik Nasional ke-16 ini bukan sekadar seremonial, melainkan ajakan untuk menjadikan batik sebagai bagian dari kehidupan dan kebanggaan diri setiap insan Indonesia.