(Yogyakarta, 03/10/2015) — Rangkaian perayaan Hari Batik Nasional di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) semakin hangat dengan pagelaran seni kontemporer “Ekspresi Seni Kontemporer Lintas Generasi” pada Kamis malam (02/10). Acara yang didukung dan didanai Kementerian Kebudayaan melalui TBY berlangsung di Societet Militer menyajikan dialog artistik yang mendalam antara seniman senior dan generasi muda. 

Sejak pukul 19.00 WIB, Gedung Societet dipenuhi oleh penikmat seni. Acara ini dipandu dengan apik oleh MC Alit Jabangbayi dan Putri Manjo, yang berhasil menjaga antusiasme dan suasana akrab penonton sepanjang malam. 

Seni sebagai Jembatan Lintas Waktu, Wujudkan Kolaborasi Lintas Generasi

Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Purwiati, menekankan peran seni sebagai pemersatu dan pewaris nilai. Menurutnya, seni adalah jembatan lintas waktu—lahir dari tradisi, tumbuh bersama dinamika zaman, dan berkembang menghadapi tantangan masa depan. 

Purwiati menyatakan, “Perbedaan generasi bukanlah pemisah, melainkan ruang perjumpaan untuk saling memahami, mendukung, dan menginspirasi.” Ia menyoroti kolaborasi seniman dari usia 20 hingga 50 tahunan yang akan tampil. “Kolaborasi ini adalah wujud nyata bagaimana seni mampu menghasilkan dialog, mempertemukan perspektif, dan menumbuhkan harmoni,” tambahnya. 

Acara ini juga menjadi respons terhadap Hari Batik ke-16, di mana karya batik sepanjang 16 meter yang dibuat bersama anak-anak AFC dieksplorasi oleh para koreografer.

Pembuka dari Kalimantan Selatan

Kejutan pembuka datang dari luar Jawa, sebelum memasuki sajian utama penonton disuguhkan dengan penampilan Tari Patkupati dari Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan. Kepala UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan, Suharyanti, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dapat mengabdi di tanah seberang sebagai alumni Institut Seni Indonesia, sekaligus berterima kasih atas kesempatan untuk berpartisipasi di TBY. 

Seni sebagai Ruang Kreatif dan Inovatif

Menguatkan sambutan dari Kepala TBY, Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, turut menyampaikan apresiasinya. Ia menyebut acara ini sebagai agenda luar biasa yang berhasil mempertemukan berbagai generasi sebagai ruang dialog.

“Di sini terdapat pembelajaran, di sini terdapat spirit yang kemudian saling melingkupi, menjadikan Yogjakarta semakin istimewa," tegas Dian Lakshmi. Ia menambahkan, kegiatan ini meneguhkan peran Yogyakarta, khususnya Taman Budaya, sebagai ruang kreatif dan inovatif bagi perkembangan seni dan budaya. 

Setelah menyampaikan pesan dan harapan, Dian Lakshmi secara resmi membuka rangkaian pertunjukan seni kontemporer.

Widi Pramono: Menari di Ruang Antara

Sesi pertunjukan kontemporer dibuka dengan penampilan memukau dari koreografer Widi Pramono dengan karyanya, “Menari di Ruang Antara”. Bukan sekadar tarian, pertunjukan ini membawa penonton pada refleksi personal yang mendalam— tentang kerinduan dengan bau dapur. 

Widi mengeksplorasi bagaimana memori indra penciuman terhadap bau secara tak terpisahkan selalu melibatkan sosok ibu sebagai pusatnya. Koreografi ini berhasil mengangkat hal-hal penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti aroma masakan menjadi ekspresi seni yang sarat makna. 

Nunik Widiasih: Niskala

Melanjutkan intensitas, penampilan kedua dari koreografer Nunik Widiasih bersama kelompok tarinya. Niskala menceritakan perjalanan emosional yang bermula dari rasa gelisah dan gundah. 

Secara artistik Niskala mengeksplorasi bagaimana sebuah proses pendewasaan yang mengubah kerapuhan menjadi kekuatan. Pertunjukan ini menjadi bukti bahwa di balik bayang-bayang kegundahan yang dirasakan, selalu ada cahaya kekuatan dan harapan yang menanti. 

Sudiharto: Jamas Wesi Geni

Penampil ketiga, koreografer Sudiharto, menyuguhkan karya yang tak kalah memukau: “Jamas Wesi Geni”. Pertunjukan ini membawa penonton pada refleksi filosofis tradisi pembersihan diri dalam kebudayaan Jawa. Tradisi di mana benda pusaka berbahan besi (wesi) dibersihkan (dijamas) dengan cara dibakar di bara api (geni). Sudiharto bahkan menceritakan tingkat ekstrem ritual ini, di mana pada tradisi tertentu, ada bagian bilah besi yang dijilat sebagai bagian dari prosesi.

Sudiharto menekankan bahwa jamasan (pembersihan) tidak melulu berbau mistis atau supranatural. Ia ingin meluruskan pemahaman bahwa ritual jamasan ini bersifat universal dan dapat dilakukan oleh siapa saja.

Pulung Jati Ronggo Murti: Ruas Aur

Setelah penampilan dari koreografer Sudiharto, kemudian disusul penampil keempat yaitu Pulung Jati Ronggo Murti, membawakan karya “Ruas Aur”. Tarian ini mengeksplorasi konsep Ngelmu Pring atau Filosofi Bambu. Ruas Aur mengangkat bahwa ilmu bambu sangat melekat dalam konsep kehidupan masyarakat Jawa, menjadi karakteristik yang menuntun pada sikap keseimbangan, adaptif, rendah hati, dan sabar.

Pulung Jati menjelaskan bahwa filosofi bambu adalah salah satu ilmu Jawa yang menggambarkan proses perjalanan kehidupan manusia, baik dalam bersosial maupun kehidupan individu. Konsep ini mengajarkan bahwa sebelum tumbuh tinggi, akar harus kuat dan mencengkeram erat—sebuah fondasi yang sabar dibangun di bawah permukaan.

Penutup dan Harapan Regenerasi

Seluruh rangkaian pertunjukan, mulai dari refleksi kerinduan Widi Pramono hingga kedalaman spiritual Pulung Jati, berhasil memukau penonton. Dengan dukungan tata lampu yang cantik dan permainan cahaya yang dramatis, setiap karya tari yang dibawakan terasa lebih hidup dan mendalam. Ditambah lagi, alunan musik kontemporer yang terasa lebih hidup. 

Apresiasi datang dari penonton Titis, Carmel, dan Ratih asal Yogyakarta. Titih menyoroti penampilan pembuka sebagai yang paling menarik karena penggunaan properti yang beragam. Sementara itu, Carmel dan Ratih berharap TBY terus mengadakan event semacam ini sebagai wadah penting bagi anak muda untuk mencari pengetahuan kebudayaan yang tidak didapatkan di sekolah dan sebagai ruang untuk berkreasi. 

Keberhasilan acara ini menegaskan kembali pesan Kepala TBY dan Kepala Dinas Kebudayaan DIY: bahwa seni adalah jembatan dialog yang melampaui batas generasi dan menjadi ruang kreatif-inovatif yang strategis. Melalui kolaborasi lintas usia, Yogyakarta berhasil meneguhkan perannya sebagai pusat kebudayaan yang terus merawat seni dan nilai-nilai luhur bangsa di tengah arus globalisasi.