(Yogyakarta, 20/6/2025) — Suasana malam di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, Jumat (20/6), terasa hangat sekaligus reflektif ketika Parade Teater Linimasa #8 memasuki sesi kedua. Panggung disulap menjadi ruang konflik agraria dan nilai keluarga lewat penampilan kelompok Perkumpulan Seni Nusantara Baca yang membawakan lakon "Tanah Warisan", sebuah adaptasi teater dari drama radio yang disutradarai oleh seniman kawakan, Landung Simatupang.

Pertunjukan yang dimulai pukul 20.00 WIB ini menyuguhkan tafsir mendalam atas ketegangan antara nilai-nilai leluhur dan kebutuhan hidup modern. Landung Simatupang dikenal sebagai sutradara yang tajam dalam menggali narasi sosial menghidupkan kembali naskah drama radio ke atas panggung teater dengan pendekatan visual dan emosional yang kuat, menyentuh isu yang tak lekang oleh waktu: konflik tanah warisan.

Konflik Klasik dengan Tafsir Baru

Cerita berfokus pada Pak Projo, seorang pensiunan yang memilih bertahan menggarap sawah warisan keluarganya, meski lahan tersebut telah dikepung oleh pembangunan dan tidak lagi produktif. Dalam bayang-bayang gedung tinggi, sawah itu menjadi titik konflik ketika Pak Herman, seorang politikus haus kuasa, berusaha membeli lahan tersebut dengan harga tinggi. Demi ambisinya, Pak Herman bahkan menggunakan tekanan dan teror, bekerja sama dengan dua karakter licik, Pak Kirman dan Sulis.

Titik balik terjadi saat anak lelaki Pak Projo, yang bekerja sebagai pegawai honorer, mulai mempertimbangkan untuk menjual tanah itu. Keinginannya sederhana—menyogok demi mendapatkan status sebagai PNS tetap. Pertentangan pun mengemuka: idealisme sang ayah berhadapan dengan realisme anak muda yang melihat tanah sebagai aset ekonomi, bukan sekadar simbol warisan.

Namun, teater ini tidak serta-merta memojokkan salah satu pihak. Justru, dialog antara generasi lama dan muda ditampilkan secara seimbang. “Bukankah lebih baik jika tanah itu dimanfaatkan untuk keluarga dan masyarakat daripada hanya menjadi simbol masa lalu?” begitu suara sang anak yang menggema ke penonton. Pertanyaan ini menjadi refleksi kritis bagi siapa pun yang pernah bersinggungan dengan isu warisan.

Adaptasi Panggung dari Ruang Suara

Yang menjadikan pertunjukan ini lebih istimewa adalah latar belakang naskahnya. “Tanah Warisan” merupakan adaptasi dari sebuah drama radio, sebuah bentuk karya yang selama ini hanya hidup di ruang dengar. Landung Simatupang membawa naskah tersebut ke ruang visual, memadukan kekuatan kata dengan gestur tubuh dan ruang panggung yang hidup. Adaptasi ini berhasil mempertahankan kekuatan naratif asli sambil menambahkan kedalaman emosional dan dimensi visual yang memukau.

Dalam wawancara singkat setelah pertunjukan, Landung menyebut bahwa “teater dan radio sama-sama menyuarakan realitas, tapi di atas panggung kita bisa menyentuh batin penonton lewat ekspresi langsung dan dinamika ruang.” Pilihan untuk mengangkat kembali naskah radio juga dianggap sebagai bentuk penghargaan pada warisan seni pertunjukan Indonesia yang pernah populer di era sebelum digitalisasi.

Warisan Tak Hanya untuk Disakralkan

Lakon ini menyampaikan pesan yang mendalam: bahwa tanah warisan bukan semata-mata pusaka yang harus dijaga secara kaku, melainkan bisa dimaknai ulang dan dikelola agar tetap relevan. Dalam salah satu adegan emosional, Pak Projo akhirnya bersedia mendengarkan sudut pandang anaknya. Mereka mencapai titik temu: sawah itu tidak dijual, tetapi akan dijadikan ruang produktif bersama yang bermanfaat tanpa menghapus nilai sejarahnya.

Pertunjukan juga memberi peringatan penting tentang bahaya manipulasi, teror, dan janji-janji palsu dari pihak luar. Penonton diajak untuk bersikap kritis, tidak mudah tergoda oleh iming-iming kekuasaan atau keuntungan sesaat.

Linimasa #8: Panggung Seni, Ruang Dialog

Secara keseluruhan, Parade Teater Linimasa #8 membuktikan diri bukan hanya sebagai ajang pertunjukan, tapi juga ruang perenungan sosial. Dengan sajian seperti "Tanah Warisan", panggung menjadi cermin konflik nyata yang dihadapi masyarakat: antara menjaga akar tradisi dan menghadapi kenyataan zaman.

Melalui lakon ini, kita diajak menyadari bahwa menjaga warisan budaya bukan berarti membekukannya, melainkan menghidupkannya kembali dalam bentuk yang kontekstual dan bermanfaat. Sebuah pesan yang sangat relevan di tengah perubahan sosial dan urbanisasi yang terus bergulir di banyak sudut Indonesia. Tanah Warisan bukan hanya pertunjukan, tapi seruan agar kita lebih bijak memaknai warisan: bukan hanya sebagai kenangan masa lalu, tapi juga bekal untuk masa depan.