(Yogyakarta, 4/09/2025) – Taman Budaya Yogyakarta (TBY) resmi menetapkan kenaikan tarif retribusi sebesar Rp1.000.000 untuk setiap kegiatan yang menggunakan fasilitas gedung. Selain itu, mulai 2026 akan diberlakukan tarif retribusi khusus untuk sesi foto dan video wisuda maupun wedding di lingkungan TBY. Kebijakan ini disepakati dalam Focus Group Discussion (FGD) Penentuan Tarif Retribusi Gedung TBY tahun 2026 yang digelar Kamis (4/9) di Ruang Rapat TBY.

Acara tersebut dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai unsur, termasuk pejabat Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Badan Pengelola Keuangan dan Aset (BPKA) DIY, kepolisian, perangkat kalurahan, akademisi, hingga perwakilan komunitas seni dan budaya.

FGD ini merupakan tindak lanjut dari surat resmi BPKA DIY Nomor B/900.1.13.1/8734/ tentang peninjauan tarif retribusi dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah (LLPAD). Forum diskusi ini menjadi wadah partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan yang lebih relevan dan mendukung keberlanjutan ekosistem seni budaya Yogyakarta.

“Penyesuaian tarif retribusi tidak hanya soal angka, tetapi juga keberpihakan terhadap pelaku seni dan kebutuhan pengelolaan fasilitas Taman Budaya. Kami ingin keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi bersama,” ujar Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati, dalam sambutannya.

Purwiati menegaskan, langkah ini diambil untuk menjaga kualitas pelayanan dan pemeliharaan fasilitas agar tetap prima. Ia menambahkan bahwa penyesuaian tarif adalah langkah strategis agar TBY bisa terus menjadi ruang seni yang representatif, profesional, dan inklusif bagi masyarakat.

Dukungan Seniman Senior: Investasi untuk Masa Depan Seni

Kebijakan penyesuaian tarif ini juga didukung para seniman senior. Marwoto Kawer, tokoh teater Yogyakarta, menilai kenaikan Rp1.000.000 per kegiatan tidak berlebihan jika melihat standar fasilitas budaya di kota-kota lain.

“Kalau kita bandingkan dengan daerah lain, sewa gedung budaya justru jauh lebih mahal. Kenaikan tarif satu juta rupiah di TBY ini penting supaya fasilitasnya tetap profesional dan berkembang. Yang penting seniman tetap diberi ruang untuk berkarya,” kata Marwoto.

Ia menekankan bahwa kebijakan ini seharusnya dipahami sebagai bentuk investasi untuk keberlangsungan ruang seni di Yogyakarta, bukan sekadar beban biaya. “Dengan fasilitas yang terawat, kegiatan budaya di DIY bisa terus berjalan dan kualitasnya makin baik,” ujarnya.

Forum Aspiratif untuk Semua Pihak

FGD ini diikuti perwakilan komunitas seni, pengelola sanggar, sekolah seni, perguruan tinggi, dan penyelenggara acara budaya. Diskusi berlangsung terbuka dengan fokus pada evaluasi tarif sebelumnya, proyeksi kebutuhan operasional tahun 2026, serta dampak kebijakan tarif terhadap komunitas seni dan masyarakat umum.

Peserta FGD memberikan beragam masukan, mulai dari pentingnya keringanan bagi komunitas seni independen hingga strategi menjaga fasilitas agar tetap representatif. Pemerintah daerah menegaskan bahwa dukungan anggaran dan tarif yang terukur akan membantu menjaga kualitas pelayanan publik.

Purwiati menambahkan, forum ini membuktikan bahwa kebijakan dapat dirumuskan secara partisipatif. “Kami ingin tarif baru ini menjadi hasil kesepahaman bersama. Semangatnya adalah keberpihakan, keterbukaan, dan kolaborasi,” ujarnya.

Menuju Pengelolaan Profesional dan Berkelanjutan

Penyesuaian tarif retribusi ini akan berlaku mulai awal 2026, bersamaan dengan kebijakan penganggaran pemerintah daerah. Meski ada kenaikan biaya, TBY berkomitmen memberikan pelayanan lebih baik, fasilitas lebih layak, dan program seni budaya yang terus berkembang.

Langkah TBY menggelar FGD diapresiasi banyak pihak karena memberi ruang bagi dialog antara pemerintah, komunitas seni, dan masyarakat. Forum seperti ini diharapkan menjadi contoh bagi pengelolaan fasilitas budaya di Yogyakarta agar tetap transparan dan aspiratif.

“FGD ini bukan hanya soal tarif, tapi juga tentang komitmen bersama menjaga Taman Budaya sebagai ruang seni kebanggaan masyarakat. Dengan tarif yang terukur, kami berharap TBY bisa terus menjadi pusat kreativitas dan inovasi seni di DIY,” tutup Purwiati.

Dengan keputusan ini, TBY menegaskan perannya sebagai pusat seni budaya yang inklusif dan profesional, serta mendukung keberlanjutan ekosistem seni di Yogyakarta agar tetap berdaya saing dan berkelas nasional.