(Yogyakarta, 13/08/2025) – Taman Budaya Yogyakarta menjadi pusat pertemuan para pelaku dan penikmat seni dalam Sarasehan Seni Budaya bertajuk “Rekayasa Ingatan, Mutasi Imajinasi”. Acara yang berlangsung siang hari ini menghadirkan diskusi mendalam mengenai praktik seni media baru dalam lanskap seni kontemporer Indonesia.

Mengangkat tema yang memadukan teknologi, memori kolektif, dan daya imajinasi, sarasehan ini mengeksplorasi bagaimana perkembangan media baru memengaruhi proses kreatif sekaligus pemaknaan karya seni. Melalui forum ini, peserta diajak menelaah keterkaitan antara transformasi teknologi dan dinamika budaya dalam membentuk wajah seni kontemporer di Indonesia.

Acara dibuka dengan sambutan hangat dari Dra. Purwiati, Kepala UPT Taman Budaya Yogyakarta. Dalam sambutannya, ia menyampaikan harapan agar masukan dari forum ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan program-program Dinas Kebudayaan Yogyakarta di masa mendatang.

Forum ini juga menjadi ajang untuk melihat sejauh mana kebijakan dinas memfasilitasi kegiatan yang terkait dengan nomenklatur baru, yaitu seni rupa, film, dan media baru. “Semoga masukan-masukan ini bermanfaat dan menginspirasi kami untuk merumuskan program yang berguna bagi perkembangan seni rupa maupun seni pertunjukan di Yogyakarta,” ujarnya.

Empat narasumber utama hadir dalam acara ini, masing-masing memberi kontribusi penting bagi jalannya diskusi. Rain Rosidi, Dosen ISI Yogyakarta, membuka sesi dengan pengantar praktik seni media baru dalam lanskap seni kontemporer Indonesia. Ia menilai, seni media baru di Indonesia berakar pada seni rupa kontemporer yang inklusif dan terbuka terhadap beragam identitas, bebas dari batasan sejarah seni rupa modern Barat. Perkembangannya dipengaruhi dinamika sosial, politik, dan budaya sejak 1970-an, dengan momentum penting pada era 1990-an dan pasca-1998 ketika seniman mulai bereksperimen dengan ruang publik, medium alternatif, serta pendekatan interaktif.

“Medium baru bukan untuk menegasi yang lama,” ujarnya, melainkan sarana menemukan bahasa yang sesuai konteks zaman. Di era digital, saat generasi muda sudah akrab dengan teknologi, media baru kian relevan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Kemudian menurut Irene Agrivine menyebutkan bahwa Seni media baru di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dinilai memiliki potensi besar karena sifatnya yang plural, multidisipliner, dan mampu menembus berbagai ruang ekspresi. Meski demikian, perkembangannya masih terbentur keterbatasan ruang dan fasilitas. 

“Ironisnya, seni media baru yang semestinya diakomodasi dalam pengembaraan seni kontemporer justru belum sepenuhnya terwadahi,” ujarnya. Padahal, seni kontemporer merupakan fenomena yang terus bergerak dan berkembang, sehingga dukungan yang memadai menjadi kunci agar batas-batas kreativitas seniman dapat terus dieksplorasi dan relevansinya terjaga.

Bagi Jompet, aspek suara (sound) menjadi pintu masuk penting dalam seni media baru. Ia menyoroti kemampuannya memadukan seni, ilmu pengetahuan, dan inovasi untuk merespons isu sosial maupun politik. Praktik seni media baru, menurutnya, bersifat fleksibel, dinamis, dan terus berkembang seiring perubahan zaman, sekaligus membuka ruang kolaborasi lintas disiplin.

“Banyak sekali yang bisa kita kerjakan untuk hal-hal di depan secara bersama dan kolektif,” tegasnya. Salah satu karya inovatif ini perlu dikembangkan dengan memadukan nilai-nilai lokal dan kreativitas teknologi, dengan harapan pemerintah dapat memberikan dukungan berupa ruang bagi para pelaku seni, khususnya di Yogyakarta. “Setidaknya pemerintah dapat membantu praktisi seni untuk memfasilitasi dan memberi pandangan kebijakan kebudayaan serta pemanfaatan ruang publik.” Tambahnya lagi. 

Dalam sesi penutup, perwakilan Komisi D DPRD DIY, Tustiyani S.H. menekankan pentingnya komunikasi antara seniman dan pemerintah daerah untuk memastikan kebutuhan pelaku seni, khususnya di bidang media baru, dapat terakomodasi. Keterbatasan ruang dan fasilitas disebut sebagai persoalan yang perlu segera ditangani, apalagi di tengah kebijakan efisiensi anggaran daerah. Dukungan yang diharapkan mencakup penyediaan ruang ekspresi, studio, hingga peluang agar karya seni dapat berkembang sekaligus memberi manfaat ekonomi. 

“Saya kira, apa pun bisa dilakukan asalkan teman-teman seniman di DIY ini bersatu untuk lebih menyampaikan kepada pemerintah daerah dengan harapan saya, kehidupan panjenengan bisa tetap stabil, seni-seni juga masuk, sehingga jiwa seni tetap bisa diekspresikan dan menghasilkan secara ekonomis,” ujarnya.

Diskusi ini menegaskan bahwa seni media baru memiliki peran penting sebagai jembatan antara seniman, teknologi, dan inovasi dalam perkembangan seni kontemporer Indonesia. Meski tantangan seperti efisiensi anggaran dan keterbatasan fasilitas masih ada, kondisi tersebut justru dapat memicu lahirnya ide-ide segar. Seni media baru memungkinkan respons cepat terhadap berbagai peristiwa melalui medium beragam dari seni rupa dan pertunjukan hingga multimedia yang memadukan suara, getaran, dan frekuensi. 

Perpaduan seni, teknologi, dan sains ini tidak hanya membuka peluang pengetahuan baru, tetapi juga memenuhi kebutuhan intelektual dan kreativitas seniman untuk terus bertahan, berkembang, dan relevan di tengah perubahan zaman.