(Yogyakarta, 5/6/2025) — Sebuah ruang diskusi yang hangat dan reflektif tersaji dalam Sarasehan Seni Budaya yang berlangsung di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta pada Kamis (5/6). Mengangkat tema “Gagasan Pertunjukan Berbasis Problematika (Ruang) Tinggal Kita”, acara ini menjadi titik temu penting antara seniman lintas generasi, mahasiswa, dan anak-anak muda dalam membedah bagaimana ruang tinggal tak hanya sebagai tempat fisik, tetapi juga sebagai ruang ideologis dan inspiratif bagi penciptaan seni pertunjukan.

Sarasehan yang dimulai pukul 12.00 - 15.00 WIB ini menghadirkan empat narasumber berpengaruh di dunia seni pertunjukan, yaitu Elyandra Widharta, Landung Simatupang, Paksi Raras Alit, dan Hanif Joaniko Putra, yang juga akan bertindak sebagai sutradara dalam Parade Teater Linimasa ke-8 pada 20 Juni 2025 mendatang. Diskusi dipandu oleh Dr. Koes Yuliadi, M.Hum., dosen dan pengamat seni budaya yang dikenal memiliki pendekatan teoritis dan praksis dalam analisis pertunjukan.

Dalam diskusi, para narasumber menggali makna “ruang tinggal” bukan sekadar lokasi geografis, melainkan sebagai representasi nilai, sejarah, hingga dinamika sosial budaya yang melingkupinya. 

“Tanah dan ruang tinggal kita adalah bagian dari identitas. Perubahan yang terjadi di dalamnya memberi dampak langsung pada bagaimana kita memahami diri dan menyusun narasi pertunjukan,” ujar Elyandra Widharta dalam pembukaannya.

Gagasan ini kemudian ditanggapi secara kontekstual oleh seniman muda Paksi Raras Alit yang tengah menggarap pertunjukkan yang berjudul “Planeto”, sebuah proyek pertunjukan musikal kolaboratif yang melibatkan anak-anak muda di Yogykakarta. Ia menyoroti perubahan pendekatan terhadap isu lingkungan dan ruang dari generasi ke generasi.

“Isu ruang yang dibicarakan anak-anak Gen Z hari ini berbeda sekali dengan generasi milenial seperti saya. Saat ini saya sedang berproses dengan komunitas muda di sekitar sebuah coffee shop. Ternyata, tempat itu menjadi titik berkumpul dan bertukar ide soal ruang, tapi dengan cara yang sangat kekinian. Planeto mencoba menjadi ruang belajar bersama bukan hanya tentang pentas, tetapi bagaimana anak-anak bisa terlibat aktif dalam penciptaan,” ujar Paksi.

Menurutnya, proses penciptaan pertunjukan bukan hanya soal seleksi bakat, melainkan membuka ruang inklusif di mana setiap anak bisa ikut serta dalam membentuk narasi melalui dialog yang lahir dari pengalaman mereka sendiri. 

“Lirik-lirik drama musikal kami hasilkan bersama. Penulis dan sutradara hanya memantik. Sisanya adalah suara mereka,” tambahnya.

Seniman teater kawakan Landung Simatupang menyoroti aspek fisik dan nilai yang melekat dalam ruang tinggal. Ia menyampaikan bahwa perubahan lingkungan fisik akan berdampak pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

“Ruang itu berarti fisik. Nilainya sangat tergantung dari bagaimana lingkungan fisik itu diperlakukan. Kalau lingkungannya berubah, maka nilainya pun ikut bergeser. Ini yang coba kami angkat dalam bentuk drama realis yang filmis pada pertunjukkan besok. Gerak dan dialognya pun kami buat mendekati kehidupan sehari-hari,” ungkap Landung.

Pendekatan realis ini menurutnya mampu membumikan isu-isu besar menjadi narasi yang mudah dipahami oleh publik luas. Ketimbang metafora yang berat, ia memilih kewajaran sebagai cara berkomunikasi yang kuat dan menyentuh.

Sementara itu, Hanif Joaniko Putra memaparkan gagasan kreatifnya dalam pertunjukan berjudul Mau Kemana Lagi. Judul tersebut muncul dari pengalaman personalnya terkait penggusuran rumah neneknya yang kini telah berubah fungsi menjadi benteng modern.

“Cerita ini saya angkat sebagai lakon fiktif, tetapi berbasis kenyataan. Inspirasi datang dari ibu, nenek, dan warga sekitar. Pertanyaannya sederhana: kalau ruang tinggal kita hilang, mau ke mana lagi kita pulang?” ungkap Hanif.

Pertunjukan ini, menurutnya, merupakan bentuk respons artistik terhadap perampasan ruang-ruang tinggal rakyat kecil, yang kerap terjadi atas nama pembangunan. Dalam proses penciptaannya, Hanif berupaya menjahit kembali ingatan, trauma, dan harapan masyarakat melalui narasi panggung.

Sarasehan ini tidak hanya menyajikan gagasan, tetapi juga membuka ruang dialog antargenerasi. Para peserta, yang terdiri dari mahasiswa, pegiat seni, hingga anak-anak, terlihat aktif berdiskusi dalam sesi tanya jawab. Moderator Dr. Koes Yuliadi menyimpulkan bahwa seni pertunjukan yang berbasis pada problematika ruang tinggal memiliki potensi besar untuk menjadi cermin sosial yang kritis dan transformatif.

“Yang penting adalah bagaimana gagasan ini terus diolah dan dibawa ke dalam panggung, bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai panggilan untuk berpikir dan bertindak,” ujar Koes menutup acara.

Dengan berakhirnya sarasehan ini, tampak jelas bahwa seni pertunjukan hari ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia menyentuh, merekam, dan merefleksikan realitas. Ruang tinggal baik yang ada, yang berubah, maupun yang hilang menjadi sumber daya imajinasi yang tak akan pernah kering.