(Yogyakarta, 17/05/2025) — Suluh Sumurup Art Festival (SSAF) kembali digelar untuk ketiga kalinya di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Tahun ini, pameran seni rupa difabel tersebut mengangkat tema “Jejer”, yang menegaskan keberadaan penyandang disabilitas sebagai subjek yang aktif dan kreatif dalam medan seni.
Festival yang akan berlangsung hingga 23 Mei 2025 ini memamerkan 193 karya seni rupa dari 131 peserta individu penyandang disabilitas yang berasal dari 15 provinsi di Indonesia. Dibanding tahun sebelumnya, jumlah peserta dan provinsi yang terlibat mengalami peningkatan. Pada edisi sebelumnya, hanya 12 provinsi yang berpartisipasi.
“Ini merupakan Suluh Sumurup edisi ketiga setelah edisi pertama bertema Gegandengan dan edisi kedua bertema Jumangkah. Kami bersyukur, tahun ini semakin banyak peserta yang terlibat,” ujar Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Purwiati, dalam konferensi pers yang digelar Kamis pagi, beberapa jam sebelum pembukaan resmi SSAF.
Menurut Purwiati, SSAF menjadi ruang inklusi yang penting bagi para penyandang disabilitas untuk menampilkan karya mereka kepada publik. Ia berharap, festival ini tidak hanya menjadi ruang apresiasi semata, tetapi juga mampu membuka peluang ekonomi bagi seniman difabel melalui jalinan kerja sama dengan kolektor dan dunia seni rupa profesional.
"Kita meluncurkan program Ruang Pojok Kreatif, sebuah ruang khusus yang disediakan untuk teman-teman difabel, AFC, dan komunitas lainnya, di mana mereka dapat menitipkan karya mereka untuk dijual serta mewujudkan keberlanjutan dari hasil karya yang dihasilkan oleh setiap laboratorium di TBY.” tambahnya.
Kurator pameran, Budi Irawanto, menjelaskan bahwa tema “Jejer” dipilih sebagai bentuk penegasan bahwa penyandang disabilitas bukan hanya harus terlihat (visible) dalam ruang publik, tetapi juga mampu mengartikulasikan serta menegaskan identitas mereka sendiri melalui karya seni.
“‘Jejer’ dalam bahasa Jawa berarti berdiri sejajar atau berjajar. Maknanya bukan sekadar hadir, tetapi menempati posisi sebagai subjek aktif. Ini menjadi penting dalam konteks advokasi kultural,” jelas Budi, yang juga pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada.
Ia menambahkan bahwa karya-karya yang ditampilkan dalam SSAF 2025 sangat beragam dalam bentuk maupun tematik. Beberapa seniman mengeksplorasi isu lingkungan, teknologi masa depan, media sosial, hingga problem sosial sehari-hari yang mereka hadapi sebagai penyandang disabilitas.
“Memang ada kekasaran (roughness) dalam karya-karya tersebut, tetapi justru itu menjadi kekuatan karena menampilkan kejujuran yang tidak dibuat-buat. Otentisitas seperti ini sangat jarang kita temui di karya-karya yang terlalu dibentuk oleh estetika pasar,” kata Budi.
Kurator lainnya, Sukri Budi Darma, menambahkan bahwa sejak awal SSAF dirancang sebagai ruang untuk menumbuhkan potensi seniman muda difabel. Melalui pameran ini, peserta diberi ruang untuk menunjukkan kemampuannya tanpa sekat-sekat eksklusivitas seni arus utama.
“Terdapat tujuh sekolah dari berbagai provinsi seperti Papua, Sumatera, hingga Kalimantan yang turut mengirimkan karya. Mereka sangat antusias. Bahkan hingga menjelang pembukaan, masih ada peserta yang mengajukan karya untuk dipamerkan,” ungkap Budi.
Bagi sebagian peserta, festival ini menjadi pengalaman pertama mereka mengikuti pameran tingkat nasional. Bagi yang lain, SSAF menjadi batu loncatan untuk memperluas jaringan dan memperdalam praktik artistik mereka. Tak hanya menjadi ruang ekspresi, festival ini juga menjadi ruang belajar bersama.
SSAF 2025 tidak hanya menyuguhkan pameran seni rupa. Berbagai agenda pendukung digelar untuk memperkaya interaksi antara peserta, pengunjung, dan pelaku seni lainnya. Di antaranya adalah workshop seni, pemutaran film, pertunjukan seni, serta diskusi artistik.
Beberapa workshop yang digelar antara lain Workshop Galeri Siter, Workshop Bahasa Isyarat, Workshop Batik Perintang Tepung, serta Workshop Literasi Sastra untuk Disabilitas. Agenda Artis Talk dan Gallery Tour juga menjadi bagian penting dari festival ini.
“Dengan mengintegrasikan berbagai kegiatan ini, kami ingin memastikan bahwa SSAF menjadi ruang yang hidup dan dinamis, tidak hanya pameran yang statis. Kami juga ingin pengunjung mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang perspektif difabel dalam seni,” ujar Purwiati.
Pameran ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya. Melalui SSAF, Taman Budaya Yogyakarta berupaya menunjukkan bahwa inklusivitas bukan sekadar wacana, melainkan sebuah praktik nyata yang melibatkan semua pihak untuk memberi ruang setara bagi siapa pun, tanpa kecuali.