(Yogyakarta, 16/10/2024) - Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta menjadi saksi dibukanya Parade Teater Linimasa #7 dengan tema "Kota, Arsip, dan Teks yang Terpinggirkan." Acara ini tidak hanya menjadi wadah bagi para seniman, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya yang tengah berlangsung di Yogyakarta. Dalam konteks perkembangan pesat pariwisata dan perubahan identitas lokal, parade teater ini mampu memberikan ruang bagi eksplorasi dan refleksi terhadap isu-isu yang dihadapi kota Yogyakarta.
Selama tiga hari, dari tanggal 16 hingga 18 Oktober, acara ini menyediakan kesempatan bagi seniman dan penonton untuk berinteraksi serta menikmati sajian memukau tentang keresahan sosial melalui pentas teater. Kehadiran Parade Teater Linimasa #7 juga menandai pentingnya ruang seni dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada di kota Yogyakarta. Teater bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga alat pendidikan yang mampu membuka wawasan dan menyentuh hati.
Kepala UPT Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati menyampaikan rasa apresiasinya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam menyelenggarakan Parade Teater Linimasa #7. Beliau menekankan bahwa acara ini adalah bagian dari komitmen Taman Budaya Yogyakarta untuk menjadi pusat kegiatan seni dan budaya yang inklusif.
“Parade Teater Linimasa bukan hanya sebuah festival, tetapi merupakan upaya kita untuk memperkuat dialog antara seni dan masyarakat. Dalam kondisi Yogyakarta yang terus berubah, penting bagi kita untuk merayakan keberagaman dan mengeksplorasi nilai-nilai yang terpinggirkan,” ungkap Ibu Purwiati.
Beliau juga mengingatkan tentang pentingnya peran seni dalam menghadapi tantangan yang ada. “Seni teater memiliki kekuatan untuk menggugah kesadaran dan membangkitkan empati. Melalui pertunjukan-pertunjukan yang akan disajikan, Parade Teater Linimasa #7 menjadi cermin bagi Kota Yogyakarta, menampilkan sisi-sisi yang sering kali terabaikan, sekaligus mengajak kita untuk merenungkan bagaimana seni teater dapat berkontribusi dalam memahami dan memaknai realitas sosial,” tambahnya.
Pembukaan parade ini dihadiri oleh Ibu Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, yang dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan bangga atas terlaksananya Parade Teater Linimasa #7. Beliau menekankan pentingnya acara ini dalam konteks Yogyakarta yang terus berkembang, serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga nilai-nilai budaya di tengah modernisasi.
“Yogyakarta adalah kota yang kaya akan warisan budaya dan sejarah. Namun, dalam era yang serba cepat ini, kita dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan identitas lokal yang kian terpinggirkan. Parade ini menjadi langkah penting untuk mengajak masyarakat berpartisipasi aktif dalam merayakan dan melestarikan seni serta budaya kita,” ujar Ibu Dian Lakshmi Pratiwi.
Beliau juga mengajak seluruh masyarakat untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga berkontribusi dalam dialog tentang kondisi sosial dan budaya saat ini. “Melalui seni teater, kita bisa menciptakan ruang untuk berbagi cerita, menggali makna, dan menemukan kembali apa yang telah hilang di kota Yogyakarta. Sesuai dengan tema kota, arsip dan teks yang terpinggirkan. Mari kita bersama-sama membangun kesadaran dan kepedulian terhadap kota tercinta ini,” tambahnya.
Parade Teater Linimasa #7 menghadirkan enam kelompok teater lintas genre, mulai dari teater tradisional hingga teater kontemporer. Pada pertunjukkan hari pertama menampilkan karya anak-anak dari Teater Sanggar Anak Alam Yogyakarta yang berjudul “Manik-Manik Mimpi” sebuah pertunjukan eksperimental dalam sudut pandang anak-anak yang menghadirkan perspektif unik dalam imaji anak-anak tentang kota Jogja, khususnya dengan ketersediaan dan aksesibilitas ruang bermain mereka.
Mereka mengungkapkan keinginan untuk memiliki taman bermain yang megah, perpustakaan besar, dan fasilitas bermain yang aman. "Aku ingin trampolin yang besar dan lapangan luas untuk bermain bola!" seru mereka dengan penuh semangat. Namun, momen indah itu terguncang ketika getaran tanah mulai terasa karena adanya pembangunan kota. Taman bermain yang mereka impikan mulai hancur, ditimpa oleh kotak-kotak yang jatuh. Roh kota muncul, merebut impian anak-anak dan menimbunnya dengan bangunan baru, menggantikan cahaya bulan dengan kilau lampu-lampu kota.
Dengan sentuhan seni dan kreativitas, teater ini mengajak kita untuk meresapi makna dari impian anak-anak, serta tantangan yang mereka hadapi dalam dunia yang terus berubah. Teater Sanggar Anak Alam menjadi wadah bagi mereka untuk menyuarakan keinginan dan harapan dalam pementasan Linimasa#7 ini, serta menggugah hati penonton untuk menjaga keindahan imajinasi anak-anak di kota Yogyakarta.
Sementara itu penampilan kedua dari dalam pementasan teater berjudul “Penari Tanpa Panggung” karya STUDI SENI NGaTHaBaGaMa, kita diajak merenungkan kehidupan penari jalanan di perempatan kota. Mereka tampil tanpa panggung, tanpa sorak-sorai penonton, dan bahkan tanpa tepuk tangan. Di tengah kesibukan lalu lintas, para penari ini berjuang mengandalkan bakat mereka untuk mendapatkan pengakuan, sambil bersaing dengan para pengais rezeki lainnya.
Fenomena penari jalanan semakin mencolok di Jogja, yang seolah menjadi panggung bagi seniman-seniman ini. Mereka bukan pengemis, mereka adalah individu yang berusaha memperlihatkan bakat mereka. Setiap gerakan tubuhnya adalah harapan-harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama untuk anak-anak mereka.
Pementasan ini menyoroti pentingnya menghargai seni dalam berbagai bentuk, termasuk yang ada di jalanan. Dengan sentuhan kreatif baik dalam gerakan maupun pemanggungan, “Penari Tanpa Panggung” mengajak kita untuk menghargai perjuangan para seniman jalanan. Melalui pertunjukan ini, kita diingatkan bahwa di balik setiap penampilan, ada cerita dan harapan yang mendalam.
Secara keseluruhan, Parade Teater Linimasa #7 bukan hanya sekadar acara seni, tetapi juga sebuah gerakan untuk memperkuat identitas dan kesadaran budaya di Yogyakarta. Dalam menghadapi berbagai perubahan, seni memiliki potensi untuk menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Melalui karya-karya yang dihadirkan, masyarakat diundang untuk bersama-sama merenungkan dan merayakan kekayaan budaya yang ada, serta berusaha untuk menjaga agar tidak ada yang terpinggirkan dalam proses perubahan yang terus berlangsung.