(Yogyakarta, 7/05/2025) — Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kembali menggeliat dengan semangat kebudayaan yang menyala. Gelaran Pentas Rebon yang diadakan pada Rabu Wage malam kemarin menjadi bagian dari rangkaian lima kali pertunjukan dalam setahun, sebagai bentuk komitmen dalam pelestarian dan pengembangan budaya lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ajang ini bukan hanya sekadar panggung seni, tetapi juga wadah ekspresi dan eksistensi bagi para seniman dari berbagai penjuru DIY, tempat mereka menampilkan bakat, menggali identitas kultural, dan menyuarakan aspirasi sosial melalui berbagai bentuk seni pertunjukan.

Dengan latar megah Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, yang memiliki kapasitas hingga 1000 penonton, suasana malam itu dipenuhi antusiasme luar biasa. Penonton dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, budayawan, hingga masyarakat umum tampak memenuhi setiap bangku, membuktikan bahwa seni pertunjukan masih sangat diminati di tengah derasnya arus digital.

Malam dibuka dengan penampilan Teater Kulon Progo, yang menampilkan naskah berjudul Perempuan-Perempuan, karya Teguh Priono dan disutradarai oleh Fajar Dwi Atmoko. Drama ini mengangkat narasi tentang perempuan-perempuan marginal, dengan tokoh sentral bernama Lani, seorang wanita malam yang memperjuangkan kelangsungan hidup di tengah kemiskinan dan stigma sosial.

Lani digambarkan sebagai sosok yang menggunakan daya tarik fisiknya sebagai senjata bertahan. Sementara itu, tokoh lain, Nona Linghua, bercita-cita menjadi artis tenar dan berusaha mendekati seorang sutradara terkemuka demi mencapai mimpinya. Menariknya, sang sutradara justru digambarkan sebagai pribadi yang bijak dan anti terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam dunia teater.

Pertunjukan ini tak hanya menghadirkan kisah personal, namun juga menyentil problematika sosial tentang eksploitasi tubuh perempuan, kesenjangan sosial, dan cita-cita yang dibungkus mimpi-mimpi semu. Karakter-karakter seperti Jongos dan tokoh pendukung lainnya memberikan nuansa tragikomedi yang memperkaya narasi dan dinamika panggung.

Dengan tata cahaya yang apik, dialog yang kuat, serta ekspresi pemain yang hidup, teater ini mengajak penonton merenung tentang keberanian perempuan dalam menghadapi ketimpangan yang sistemik.

Setelah jeda singkat, giliran Kethoprak Rebon tampil dengan lakon berjudul Tulising Panguwasa, ditulis oleh Tejo Suyanto dan disutradarai oleh Herwianto. Pementasan ini menyuguhkan suasana Jawa klasik dengan iringan gamelan yang menghanyutkan.

Lakon ini mengangkat tema kekuasaan, cinta, dan pengkhianatan. Dikisahkan bahwa ketika kesetiaan, cinta, dan pengorbanan dianggap tak lagi penting oleh para penguasa, maka nasib sebuah negeri pun tergantung pada bagaimana sang penguasa menulis sejarah. "Bakal tinemu mus bener utawa luput, mukti utawa mati, gumantung tulising panguwasa," begitu kutipan yang menjadi roh dari cerita ini bahwa realitas bisa dimanipulasi oleh narasi kekuasaan.

Pertunjukan ini memadukan bahasa klasik dan kontekstual yang masih relevan, dan menyampaikan pesan yang dalam tentang relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan sejarah. Penonton diajak merefleksikan bagaimana sejarah seringkali ditulis oleh mereka yang berkuasa, sementara yang tertindas dilupakan begitu saja.

Permainan para aktor veteran dan muda berjalan padu, menampilkan aksi yang kuat dan penuh perasaan. Nuansa emosi dan ketegangan berhasil dijaga sepanjang pertunjukan, membuat penonton terpikat dari awal hingga akhir.

Sebagai penutup malam, suasana berubah menjadi lebih santai namun tajam berkat penampilan Dagelan Mataram dengan lakon Beda’ah, naskah karya Ari Purnomo dan disutradarai oleh Tulis Priantono.

Kisah dibuka di padepokan Cidro Asmoro yang dipimpin oleh Wa’alid, seorang tokoh kharismatik namun kejam, yang mendoktrin para pengikutnya terutama perempuan untuk tunduk pada aturan semena-mena demi kesejahteraan bangsa (versi dia sendiri). Bagi yang berani melawan, dianggap sebagai pembawa petaka dan pantas dihukum.

Namun benih pemberontakan muncul dari sang istri tertua, yang perlahan menyadari kebusukan pemimpin padepokan. Ia bangkit, tampil “beda”, dan menjadi simbol perlawanan terhadap kebengisan serta tirani.

Dengan gaya dagelan khas Mataram, lakon ini menyuguhkan humor cerdas yang penuh sindiran sosial dan politik. Pemain-pemain seperti Alit Jabang Bayi, Yanti Lemu, Tere Sotil, Agus Kentus, dan lainnya tampil kompak, menghidupkan suasana dengan dialog spontan, lelucon yang aktual, serta gestur teatrikal yang menghibur sekaligus menggigit.

Pentas Rebon kembali membuktikan bahwa seni pertunjukan adalah ruang penting bagi ekspresi, perlawanan, dan pelestarian nilai-nilai budaya. Tiga pertunjukan malam itu Perempuan-Perempuan, Tulising Panguwasa, dan Beda’ah berhasil membentuk satu kesatuan narasi, tentang bagaimana seni bisa menjadi cermin masyarakat sekaligus alat perubahan sosial. Melalui event semacam ini, Taman Budaya Yogyakarta tak hanya menjadi panggung pertunjukan, tapi juga pusat denyut budaya yang terus hidup dan berkembang.