(Yogyakarta 29/07/2025) – Pertunjukan tahunan Ndang Tak Gong kembali digelar untuk keempat kalinya, mengusung tema besar “Dialektika Karawitan di Tengah Ruang dan Zaman.” Acara berlangsung pada Selasa malam, 29 Juli 2025 pukul 19.00 WIB, bertempat di gedung bersejarah Societeit Militaire, Taman Budaya Yogyakarta. Di tengah senyap kota, gamelan kembali menggema—sebagai suara jiwa dan ruang dialog para seniman lintas generasi yang menjadikan bunyi sebagai bahasa ekspresi dan perenungan.

Pagelaran kali ini menampilkan karya-karya karawitan dari para pengrawit muda hingga senior, yang menghadirkan harmoni logam dan kayu melalui pendekatan kontemporer tanpa meninggalkan akar tradisi. Dirancang sebagai pertemuan antara warisan budaya dan semangat zaman, Ndang Tak Gong 2025 menjadi ajang dialektika kreatif: bukan sekadar siapa yang tampil, melainkan mengapa karawitan tetap relevan dalam dinamika budaya hari ini.

Sebelum acara utama dimulai, penonton disambut dengan penampilan istimewa dari AFC (Art for Children)—kelompok karawitan anak-anak binaan Taman Budaya Yogyakarta. Penampilan ini menjadi pembuka yang hangat sekaligus penuh makna, menegaskan bahwa semangat pelestarian seni tradisi telah ditanamkan sejak usia dini. Dengan teknik terlatih dan ekspresi yang jujur, para anggota AFC menyajikan harmoni sederhana yang menyentuh, sebagai simbol harapan bagi keberlangsungan karawitan di masa depan.

Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati, menyatakan bahwa Ndang Tak Gong 2025 merupakan bentuk nyata dari komitmen kolektif untuk melestarikan dan memajukan seni karawitan. “Ruang pertunjukan bukan hanya tempat tampil, tetapi menjadi ruang belajar, ruang dialog, ruang ekspresi, sekaligus ruang apresiasi yang inklusif untuk semua kalangan,” ujarnya.

Senada dengan itu, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, S.S., M.A., menegaskan pentingnya karawitan sebagai media budaya yang hidup dan sarat nilai. “Karawitan bukan hanya tabuhan gamelan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kesabaran, harmoni, dan keyakinan. Keharmonisan sejati dalam karawitan tidak datang dari suara yang paling menonjol, melainkan dari keselarasan antarunsur bunyi yang saling mengisi dalam ruangnya masing-masing,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada komposer Widanta Agung Nugroho atas karya inovatif yang ditampilkan malam itu. “Karya seperti ini menunjukkan bahwa karawitan adalah ruang eksperimentasi yang hidup. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan ruang pembelajaran dan refleksi yang membuka dialog antara tradisi dan semangat kekinian,” tambah Dian Lakshmi Pratiwi.

Pertunjukan utama malam itu bertajuk “Deyan,” sebuah karya kontemplatif dari Widanta Agung Nugroho yang menggabungkan estetika karawitan tradisional dengan teknologi tata suara dan cahaya digital semi-surround. Melalui komposisi musikal yang perlahan dan reflektif, Deyan menggambarkan kegelisahan batin manusia yang rapuh namun terus mencari ketenangan. Sepasang mata kecil dua anak perempuan muncul sebagai simbol pengingat: keheningan adalah bagian dari musik yang paling dalam.

Pertunjukan dibuka dengan iringan musik yang nyaris senyap, di mana setiap denting gamelan muncul bergantian—bergerak dari sisi kanan ke kiri panggung—menciptakan ilusi ruang yang menyelimuti penonton. Tata cahaya yang dinamis memperkuat atmosfer, berpindah dan berubah seiring irama, membangun suasana yang tenang namun sarat makna.

Kolaborasi antara musik gamelan dan unsur modern berhasil menghadirkan pengalaman audio-visual yang menggugah. Setiap nada terasa meresap dan menggugah perasaan, bukan hanya karena keindahan bunyinya, tetapi juga karena kedalaman makna yang disampaikan. Ini bukan sekadar pertunjukan karawitan—melainkan konser artistik berskala besar, lengkap dengan pencahayaan yang presisi dan tata suara yang tertata rapi.

Keberhasilan Ndang Tak Gong 2025 bukan hanya terletak pada kekuatan artistiknya, tetapi juga kemampuannya membangun jembatan antara generasi. Penonton yang hadir malam itu berasal dari berbagai kalangan—anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia—semua larut dalam atmosfer musikal yang reflektif dan membumi. Ini menunjukkan bahwa karawitan bukanlah seni yang usang atau terbatas usia, melainkan bahasa budaya yang terus hidup dan berkembang.

Pagelaran ini sekaligus menjadi bukti bahwa karawitan tetap memiliki daya tarik dan daya hidup di tengah modernitas. Ia tak hanya menjadi warisan yang dilestarikan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi yang menyentuh, menyatukan, dan menghidupkan kembali makna-makna terdalam tentang kebersamaan, ketenangan, dan identitas.