(Yogyakarta, 07/10/2025) — Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kembali menghadirkan ruang dialog yang hangat melalui Sarasehan Seni Budaya bertajuk “Merayakan Sinema, Mengelola Budaya: Strategi Tata Kelola dan Dinamika Festival Film di Yogyakarta.” 

Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk meneguhkan arah pembangunan ekosistem perfilman yang berkelanjutan, dengan mempertemukan berbagai pemangku kepentingan  mulai dari komunitas film, akademisi, praktisi, hingga pihak legislatif. 

Sarasehan ini bertujuan untuk merumuskan gagasan bersama tentang masa depan perfilman Yogyakarta, khususnya dalam hal tata kelola festival dan penguatan kebijakan yang berpihak pada pelaku film.

Fondasi Kolaborasi dan Semangat “Nyengkuyung”

Acara dibuka oleh Rony Ramadhan, selaku Koordinator Sarasehan sekaligus akademisi film. Ia menegaskan bahwa kekuatan utama perfilman Yogyakarta terletak pada etos kolaboratif yang khas.

“Di Jogja itu orang-orangnya nyengkuyung. Artinya, apa-apa dilakukan bersama, dengan semangat kebarengan dan komunitas,” ujar Rony.

Menurutnya, semangat nyengkuyung saling mendukung dan bergotong royong menjadi fondasi pergerakan film di Yogyakarta. Budaya ini tidak hanya menciptakan solidaritas, tetapi juga daya tahan komunitas terhadap keterbatasan sumber daya dan dukungan finansial.

Studi Kasus: Festival sebagai Ruang Kolaborasi

Salah satu praktik nyata semangat kolaboratif itu tampak pada Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF), yang menjadi model keberhasilan sinergi antara pemerintah daerah dan komunitas film.

Dalam paparannya, Siska Raharja (Produser, CEO Elora Film, dan Direktur KHFF) menjelaskan bahwa festival tersebut menjadi contoh tata kelola yang efektif berbasis kerja sama lintas sektor.

“Kebetulan saya membuat presentasi yang sangat relevan dengan tata kelola festival saat ini,” ujar Siska. “KHFF itu bisa jadi sample yang paling tepat, karena festival ini lahir dari kolaborasi antara pemerintah daerah dan komunitas. Sudah berjalan tiga tahun, dan kini masuk tahun keempat.”

Siska menekankan bahwa KHFF bukan sekadar ruang pemutaran film, melainkan bagian dari strategi city branding kawasan Kotabaru, menjadikan festival film sebagai alat diplomasi budaya dan promosi wilayah, layaknya festival internasional seperti Locarno atau Cannes.

Ia juga menyoroti pentingnya perubahan paradigma dalam memaknai warisan budaya.

“Sekarang KHFF tidak hanya merayakan warisan, tapi juga mengajak kita untuk bersikap kritis terhadap budaya yang diwariskan. Bagaimana kita mengelola warisan itu agar relevan dengan zaman,” tambahnya.

Regulasi yang Berpihak: Aspirasi Tujuh Pilar Perfilman

Sementara itu, Rizal Pahlevi, Ketua Paguyuban Film Yogyakarta, mengangkat persoalan penting mengenai arah regulasi yang seharusnya berpihak pada kesejahteraan dan keberlanjutan ekosistem film lokal. Ia menyampaikan tujuh pilar utama yang tengah diperjuangkan oleh komunitas film Yogyakarta.

“Kita berharap regulasi ke depan tidak hanya soal pendanaan, tapi benar-benar berpihak pada pelaku film di semua lini,” tegas Rizal.

Menurutnya, regulasi yang ideal mencakup tujuh aspek penting:

  1. Kesejahteraan pelaku film, mencakup tenaga kerja, pekerja kreatif, dan seluruh pelaku ekosistem.

  2. Fasilitasi pendidikan, distribusi, arsip, dan festival film, yang memberi ruang bagi film tradisional, alternatif, maupun populer tanpa diskriminasi.

  3. Perlindungan tenaga kerja perfilman melalui pelatihan, peningkatan kompetensi, dan akses jejaring kerja serta investasi.

  4. Penolakan terhadap pungutan liar dan pajak memberatkan dalam produksi, distribusi, dan pemutaran film.

  5. Kemudahan perizinan dan insentif investasi, termasuk keringanan biaya izin syuting di ruang publik.

  6. Perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) bagi pembuat film agar mendapat penghargaan yang layak.

  7. Penyediaan data perfilman DIY yang terbuka untuk riset, pendidikan, dan pengembangan industri.

“Yogyakarta punya potensi luar biasa. Tapi tanpa regulasi yang berpihak dan basis data yang kuat, kita hanya akan jalan di tempat,” ujar Rizal menegaskan.

Komitmen Regulasi: Perda Perfilman DIY

Menanggapi hal itu, Muhammad Yazid, S.Ag. dari Komisi D DPRD DIY memastikan bahwa pihak legislatif saat ini tengah menyusun Peraturan Daerah (Perda) Perfilman sebagai payung hukum yang akan memperkuat tujuh pilar tersebut.

“Perda kita sedang disusun, Mas. Sekarang prosesnya sudah sampai pembahasan naskah akademik setelah public discussion,” ungkap Yazid.

Ia menambahkan, Yogyakarta memiliki keunggulan besar pada Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor kreatif.

“SDM di Yogyakarta ini sangat mumpuni, terutama di dunia seni dan budaya. Ini kekuatan yang harus terus kita jaga dan fasilitasi,” tegasnya.

Melalui sarasehan ini, Taman Budaya Yogyakarta berhasil memetakan potensi dan tantangan ekosistem perfilman daerah. Diskusi lintas sektor ini memperlihatkan bahwa masa depan sinema Yogyakarta bergantung pada sinergi antara komunitas, akademisi, pemerintah, dan pelaku industri.

Dengan semangat nyengkuyung sebagai landasan, serta dukungan kebijakan yang berpihak melalui Perda Perfilman DIY, Yogyakarta meneguhkan posisinya bukan hanya sebagai kota budaya, tetapi juga Kota Festival Film yang berkelanjutan, inklusif, dan menginspirasi Indonesia.

“Sarasehan ini bukan sekadar perayaan sinema,” tutup Rony Ramadhan, “tapi panggilan untuk bertindak agar gotong royong komunitas bisa menjelma menjadi strategi tata kelola yang tangguh bagi masa depan film Yogyakarta.”