(Yogyakarta, 6/08/2024) - Taman Budaya Yogyakarta menjadi pusat pertemuan para ahli dan penggemar sastra serta geologi dalam Sarasehan Sastra Geomitologi. Acara yang berlangsung pada siang hari ini berhasil menggabungkan dua bidang ilmu yang tampaknya berbeda (sastra dan geologi) dalam sebuah diskusi yang mendalam dan mencerahkan. Sarasehan ini mengangkat tema geomitologi, sebuah pendekatan yang mengintegrasikan mitos, legenda, dan cerita rakyat dengan pengetahuan geologis. Konsep ini mengeksplorasi bagaimana pemahaman budaya dan sastra mencerminkan, serta dipengaruhi oleh, fenomena geologis dan lanskap fisik. Melalui pendekatan ini, peserta diajak untuk melihat lebih dalam mengenai hubungan antara cerita rakyat dan kondisi geologi di suatu wilayah.
Acara ini menghadirkan empat narasumber utama yang masing-masing memberikan kontribusi penting terhadap diskusi. Dr. Ir. Carolus Prasetyadi, M.Sc., seorang ahli geologi dari UPN Veteran, membuka sesi dengan pembahasan bagaimana pengetahuan geologi memainkan peran penting dalam menginterpretasikan sumbu imajiner dan geopark di Yogyakarta. Dengan pemahaman tentang struktur geologi, strategi konservasi, pengembangan pariwisata, dan integrasi dengan budaya lokal, pengetahuan ini dapat digunakan untuk mengelola dan melestarikan kawasan-kawasan penting secara berkelanjutan.
"Pentingnya mengintegrasikan pengetahuan geologi dengan konteks budaya lokal. Yogyakarta memiliki warisan budaya yang kaya, dan banyak situs geologi yang juga memiliki makna budaya. Misalnya, Gunung Merapi sampai gumuk pasir pantai parangtiritis penanda istimewa proses geologi Bumi Jogja yang sangat penting, memiliki nilai spiritual dan budaya bagi masyarakat setempat dari masa lampau hingga sekarang. Integrasi pengetahuan geologi dengan aspek budaya ini dapat meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap kedua aspek tersebut." tutur Dr. Ir. Carolus Prasetyadi, M.Sc.
Wulan Cahya Anggraeni, M.A., seorang filolog, telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara teks sastra, khususnya mitos penciptaan, dengan pemahaman masyarakat tentang geologi. Dalam pemaparanya, Anggraeni menganalisis Serat Jiwandana, sebuah teks sastra Jawa, untuk mengidentifikasi bagaimana teks tersebut menggambarkan proses penciptaan dunia dan menghubungkannya dengan konsep-konsep geologis. Analisisnya menunjukkan bahwa Serat Jiwandana menyajikan narasi tentang Hyang Jiwandana yang menciptakan kerajaan di Jawa, dan narasi ini dapat diinterpretasikan sebagai refleksi dari pemahaman masyarakat Jawa kuno tentang asal-usul alam semesta dan bumi.
“Teks sastra dan mitos, seperti Serat Jiwandana, menawarkan jendela ke dalam pikiran dan pemahaman masyarakat masa lalu tentang alam semesta dan bumi. Dengan menganalisis teks-teks ini secara mendalam, kita dapat memperoleh wawasan yang berharga tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan alam mereka dan bagaimana pengetahuan ilmiah dan mitos saling mempengaruhi.” tutur Wulan.
Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., Ph.D., Guru Besar Antropologi di Universitas Gadjah Mada, menutup sesi dengan pembahasan mengenai hubungan antara antropologi, sastra, dan mitos. Prof. Heddy menjelaskan bagaimana mitos dan cerita rakyat tidak hanya mencerminkan pemahaman budaya terhadap dunia, tetapi juga memberikan konteks yang mendalam mengenai pandangan masyarakat terhadap lingkungan geologis mereka. Melalui berbagai contoh mitos dari berbagai wilayah, Prof. Heddy mengilustrasikan bagaimana fenomena geologis seringkali dihubungkan dengan karakter-karakter mitologis. Sebagai contoh, legenda Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Perahu tidak hanya merupakan kisah cinta yang tragis, tetapi juga mengandung pesan moral yang mendalam tentang larangan inses, yang secara implisit dikomunikasikan melalui konteks geologis
“Seperti kisah Sangkuriang (Gunung Tangkuban Prahu) yang mirip dengan cerita Oedipus di Eropa, sehingga kita bisa melihat bahwa mitos sebagai sarana penyampaian pesan implisit dengan memanfaatkan simbol dari alam semesta. Tafsir sosio-kultural atas mitos Pesan tersebut bisa berupa tidak boleh meni ajaran moral yang tidak selalu mudah untuk diungkapkan secara gamblang atau eksplisit terhadap peristiwa sejarah yang terjadi.
Selama sesi diskusi, para peserta aktif berinteraksi dengan narasumber, mengajukan berbagai pertanyaan dan berbagi pandangan mereka. Salah satu topik yang menarik perhatian adalah bagaimana mitos yang sama dapat memiliki makna yang berbeda di berbagai daerah, tergantung pada kondisi geologis lokal. Diskusi ini membuka wawasan baru tentang bagaimana budaya dan geologi saling mempengaruhi dan membentuk satu sama lain.
Sarasehan Sastra Geomitologi ini berhasil memperlihatkan bahwa sastra dan geologi tidak hanya saling terkait, tetapi juga saling melengkapi dalam memahami fenomena alam dan budaya manusia. Dengan pendekatan geomitologi, peserta dapat melihat bagaimana mitos dan cerita rakyat memberikan wawasan tentang cara pandang masyarakat terhadap lingkungan geologis mereka, dan sebaliknya, bagaimana pengetahuan geologi dapat membantu dalam menafsirkan teks-teks sastra.
Acara ini tidak hanya menambah pengetahuan para peserta tentang keterkaitan antara sastra dan geologi tetapi juga menginspirasi pemikiran baru dalam studi lintas disiplin. Dengan adanya diskusi yang mendalam dan inovasi teknologi yang diperkenalkan, Sarasehan Sastra Geomitologi menjadi contoh cemerlang dari kolaborasi antara berbagai bidang ilmu yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita. Taman Budaya Yogyakarta sebagai tuan rumah acara ini patut diapresiasi atas inisiatifnya dalam menyediakan platform untuk diskusi intelektual yang berharga. Semoga acara ini menjadi batu loncatan untuk penelitian dan diskusi lebih lanjut mengenai geomitologi dan bidang-bidang terkait.