Yogyakarta (15/07/2024) - Bagaimana mungkin akar dari budaya manusia bisa ditemukan bahkan sebelum seseorang dilahirkan? Konsep ini mungkin terdengar asing, tapi Profesor Richard Parncutt dari Universitas Graz, Austria, baru-baru ini memaparkan teori yang mengejutkan dalam sarasehan seni budaya di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Dalam acara bertajuk "The Fetus/Instan and the Origin of Music, Religion, Art, Language, and Consciousness," Parncutt mengajukan ide bahwa pengalaman dalam rahim ibu bisa menjadi cikal bakal berbagai aspek budaya manusia.
Rahim adalah tempat lahirnya kesenian dan bahasa? Menurut teori yang disampaikan Parncutt, pengalaman prenatal atau pengalaman yang dialami oleh janin dalam kandungan dapat memberikan fondasi bagi perkembangan budaya manusia. Meskipun terdengar fantastis, teori ini berlandaskan pada pemahaman bahwa janin sudah mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitar bahkan sebelum lahir. Sebagai contoh, detak jantung ibu dan suara di sekitar dapat membentuk pola yang mirip dengan pola dalam musik dan bahasa yang akan berkembang di kemudian hari.
Bayangkan, dalam rahim ibu, janin tidak hanya merasakan ritme detak jantung, tetapi juga pola gerakan dan perubahan dalam intensitas suara yang dibawa oleh ibu. Pengalaman ini dapat membentuk skema awal yang mempengaruhi bagaimana seseorang nanti akan merespon musik, bahasa, dan bahkan seni. Dalam konteks ini, goa (seperti tempat perlindungan manusia purba) dapat dibandingkan dengan rahim sebagai tempat yang menawarkan rasa aman dan kenyamanan, lengkap dengan gema yang mirip dengan suara yang didengar janin.
Apa kaitannya dengan budaya dan seni di Indonesia yang kaya akan tradisi? Salah satu peserta sarasehan, Haris, mengangkat pertanyaan menarik mengenai bagaimana teori ini dapat diterapkan untuk memahami keragaman budaya di Indonesia. Negara yang terdiri dari berbagai suku dan tradisi ini mungkin memiliki kesamaan mendalam yang berkaitan dengan pengalaman prenatal yang serupa, yang membentuk dasar bagi ekspresi budaya mereka.
Misalnya, ritme dan melodi dalam musik tradisional Indonesia mungkin memiliki hubungan dengan ritme yang dirasakan janin dalam kandungan. Begitu juga dengan seni dan bahasa, yang bisa jadi memiliki akar yang lebih dalam daripada yang selama ini diduga. Teori ini bisa membuka kemungkinan baru dalam mengkaji dan memahami kekayaan budaya lokal, dengan memberikan wawasan mengenai bagaimana pola-pola kuno dapat terus hidup dalam ekspresi modern.
Diskusi ini tidak hanya menyetuh aspek teoritis, akan tetapi membuka pintu bagi kreativitas dan eksplorasi di Taman Budaya Yogyakarta. Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati, menjelaskan bahwa institusi ini berkomitmen untuk menyediakan ruang bagi berbagai bentuk pertunjukan dan edukasi, dari seni modern hingga tradisional. Acara dengan Profesor Parncutt adalah contoh nyata dari upaya tersebut, menawarkan kesempatan bagi peserta dari berbagai latar belakang (musisi, seniman, mahasiswa, dan masyarakat umum) untuk menyelami teori yang mungkin menggugah cara pandang mereka terhadap budaya dan seni.
Bagi banyak orang, termasuk peserta sarasehan yang antusias, teori prenatal schema ini bisa menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang asal-usul budaya manusia. Dalam konteks globalisasi dan modernisasi, menggali kembali akar budaya yang mungkin berawal dari pengalaman prenatal dapat menjadi langkah penting untuk melestarikan dan mengembangkan potensi budaya. Seperti yang dikatakan Parncutt, meskipun banyak yang belum diketahui tentang dunia janin, kemungkinan besar teori ini memberikan wawasan berharga yang bisa menginspirasi berbagai bidang, dari penelitian hingga praktik budaya sehari-hari.
Sebagai penutup, pengertian baru mengenai hubungan antara pengalaman prenatal dan budaya memberikan pandangan segar tentang bagaimana manusia memaknai dan merayakan warisan budaya mereka. Ini adalah pengingat bahwa meskipun seseorang mungkin sudah lama meninggalkan rahim ibu, jejak pengalaman awal terus membentuk bagaimana mereka merasakan dan menciptakan dunia di sekitar mereka.