(Yogyakarta, 230/4/2025) — Suasana siang di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta terasa berbeda dari biasanya. Sekitar pukul 12.00 WIB, puluhan pasang mata dan telinga bersiap menyimak diskusi mendalam yang melibatkan para pemikir, koreografer, dan pegiat seni tari dari berbagai generasi. Sarasehan Masyarakat Tari Yogyakarta (MASTARYO) 2025 resmi dimulai, mengusung tema “Mendedah Praktik Penari (Practice as Research)”, dan menandai kelanjutan dari tradisi diskusi intelektual tahunan yang sarat makna.

Topik tahun ini menyentuh salah satu pendekatan yang tengah mengemuka dalam ranah seni pertunjukan global: Practice as Research (PaR). Bukan hanya sebagai metode, PaR menjadi cara pandang baru dalam memahami latihan dan penciptaan tari sebagai proses riset yang melibatkan pengalaman tubuh secara sadar dan reflektif.

Dr. Bambang Pudjasworo, dosen Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dari Universitas Gadjah Mada, membuka wacana dengan membongkar sekat antara praktik seni dan kajian akademis. Menurutnya, seniman tidak hanya menghasilkan karya, tetapi juga melakukan penyelidikan terhadap proses yang dilaluinya. 

“Seniman atau praktisi seni adalah peneliti. Mereka bukan sekadar pencipta estetika, tetapi penyelidik yang secara sadar menelaah kerja kreatifnya sendiri,” jelasnya.

Dalam PaR, praktik bukan hanya sarana untuk “menghasilkan” tari, melainkan juga sebagai “penghasil” pengetahuan. Pendekatan ini menolak anggapan lama bahwa riset hanya bisa dilakukan lewat tulisan dan teori. Sebaliknya, gerak tubuh, pengalaman emosional, bahkan kegagalan di studio latihan bisa menjadi data yang bernilai.

Koreografer sekaligus praktisi tradisi Ebeg, Dani S Budiman, berbagi pengalamannya membentuk tubuh dalam lintasan waktu yang panjang dan spiritual. Latihannya bukan sekadar rutinitas pengulangan gerakan, tetapi sebuah proses menembus batas-batas fisik dan psikis.

“Melalui pelatihan tubuh dalam kesenian tradisi Ebeg, saya mengalami secara sadar bagaimana tubuh dilatih untuk melampaui kemampuannya. Pengalaman ini menjadi fondasi yang penting ketika saya masuk ke dunia profesional,” ujarnya dengan nada reflektif.

Bagi Dani, tubuh bukan sekadar alat untuk menari, tetapi medan eksistensi yang mengalami perubahan, pemaknaan, bahkan spiritualitas. Ia mengingat masa-masa awal ketika tubuhnya ‘dikeraskan’ dalam latihan tradisi mencapai titik kelelahan ekstrem, namun di saat yang sama menemukan kesadaran batin yang mengakar.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa praktik tari tradisional, yang sering dianggap kaku atau repetitif, sebenarnya menyimpan potensi transformasi mendalam jika dipahami melalui pendekatan reflektif seperti PaR.

Siska Aprisia, koreografer dan anggota World Dance Alliance Asia Pasifik Indonesia Chapter, membawa perspektif berbeda. Ia menyoroti relasi penari dengan tubuh sebagai sesuatu yang paradoksal: selalu hadir, namun sering kali tak disadari keberadaannya secara utuh. 

“Setiap proses menciptakan karya selalu memunculkan metode baru, tergantung kebutuhan. Tapi yang menarik, tubuh selalu disuruh hadir dan siap, padahal ia tak pernah pergi. Justru kita yang kerap melupakannya,” tutur Siska.

Siska menggambarkan kompleksitas hubungan antara seniman dan tubuhnya. Tubuh, dalam konteks ini, bukan hanya medium untuk bergerak, tetapi juga entitas yang menyimpan memori, trauma, intuisi, dan identitas. Setiap karya menuntut tubuh untuk ‘siap’bukan hanya secara teknis, tetapi juga emosional dan spiritual.

Di sinilah letak kekuatan pendekatan PaR: membuka ruang kontemplasi dalam proses penciptaan, dan menjadikan praktik bukan semata rutinitas teknis, tetapi sebagai proses pemaknaan terus-menerus terhadap tubuh dan kehidupannya.

Sarasehan ini juga menjadi titik temu antara berbagai lintas generasi dan disiplin. Kehadiran Galih Prakasiwi, seniman muda dari World Dance Alliance Asia Pasifik, memperkuat dialog interdisipliner yang makin dibutuhkan dalam praktik kebudayaan hari ini. Dipandu moderator Heni Siswantari dan dipandu secara hangat oleh pembawa acara Dina Triastuti, diskusi berlangsung hangat namun tetap penuh gagasan kritis.

Peserta diskusi datang dari beragam latar belakang: seniman, pelajar, mahasiswa, akademisi, hingga pelaku industri budaya. Antusiasme terlihat dari sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif, dengan berbagai pertanyaan dan refleksi yang tajam. Beberapa di antaranya menyoal kurikulum pendidikan tari, peluang riset kolaboratif antar kampus dan sanggar, hingga urgensi mendokumentasikan praktik lokal sebagai sumber pengetahuan.

Sarasehan MASTARYO bukan sekadar forum tahunan. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya strategis Dinas Kebudayaan DIY melalui UPT Taman Budaya Yogyakarta dalam menciptakan ruang edukatif dan produksi pengetahuan tentang seni dan budaya. Beberapa tujuan utama yang diusung antara lain:

  • Menjadi medium pertukaran gagasan dan pengalaman antara seniman, akademisi, dan masyarakat.

  • Mendorong tumbuhnya budaya berpikir kritis dalam menyikapi fenomena budaya yang berkembang.

  • Menjaring masukan dan pemikiran dari masyarakat untuk evaluasi dan pengembangan kebijakan kebudayaan di Yogyakarta.

  • Menjadi sarana penguatan SDM seni budaya melalui pendekatan lintas disiplin.

Dengan pendekatan partisipatif seperti ini, seni dan budaya tidak lagi diposisikan sebagai ‘konsumsi pasif’, tetapi menjadi ruang dialog dan penciptaan makna bersama.

Sarasehan MASTARYO 2025 menegaskan bahwa tari bukan hanya soal gerak yang indah ditonton, tetapi sebuah proses berpikir dan bertanya. Melalui pendekatan Practice as Research, latihan tari menjadi ladang riset, tubuh menjadi naskah terbuka, dan setiap gerakan menyimpan potensi untuk membongkar wacana budaya yang mapan.

Yogyakarta, sebagai kota budaya, beruntung memiliki ekosistem seperti ini di mana praktik seni tak hanya hidup di panggung, tapi juga di ruang diskusi, laboratorium pemikiran, dan medan riset yang terus berkembang.