(Yogyakarta, 8/10/2024) - Tari sebagai bentuk ekspresi artistik memiliki kedalaman yang melampaui sekadar gerakan fisik. Di dalamnya, tubuh tidak hanya berfungsi sebagai medium untuk mengekspresikan emosi dan cerita, tetapi juga sebagai ruang untuk mengeksplorasi identitas, relasi sosial, dan permasalahan kekuasaan. Sarasehan yang bertajuk "Membentang Sensualitas dan Arena Kekuasaan Tubuh dalam Tari" pada Selasa, 8 Oktober 2024, di Ruang Seminar TBY, bertujuan untuk membuka dialog mengenai peran tubuh dalam tari yang penuh ambivalensi di satu sisi sebagai lambang kekuasaan dan di sisi lain sebagai simbol kerentanan.
Dalam tari, tubuh adalah alat yang paling utama. Gerakan, ritme, dan ekspresi wajah berfungsi untuk menyampaikan pesan, baik itu tentang budaya, pengalaman individu, atau komentar sosial. Namun, di balik keindahan gerakan tari, terdapat lapisan kompleksitas yang melibatkan isu kekuasaan dan kontrol. Sering kali, tubuh penari menjadi objek objektifikasi, di mana penari tidak memiliki kontrol penuh atas bagaimana tubuh mereka dipersepsikan oleh penonton atau oleh masyarakat luas.
Ketimpangan relasi kuasa dalam praktik tari tidak jarang menggiring pada kerentanan praktik kekerasan. Kekerasan yang dialami penari dapat berupa kekerasan simbolik, seperti stigma dan stereotip, hingga kekerasan fisik yang lebih nyata. Sarasehan ini membahas bagaimana praktik kekerasan ini dapat muncul dalam konteks tari dan bagaimana penari dapat mengatasi atau bahkan mengubah narasi tersebut.
Dalam konteks pengajaran tari, Heni Siswantari salah satu dosen tari PGSD di Universitas Ahmad Dahlan mengajak peserta untuk melampaui pemahaman konvensional yang menganggap tari hanya sebagai keterampilan fisik. Ia menekankan pentingnya mengenal identitas melalui tari, sehingga siswa tidak hanya dilatih untuk bisa menari, tetapi juga diberdayakan untuk mengeksplorasi tubuh mereka secara bebas.
“Mari kita keluar dari pemahaman bahwa ketika mengajar anak didik kita hanya sekedar bisa menari, karena harapannya mereka bisa menari itu mengenal identitasnya. Seharusnya kita memberikan pemahaman tentang tari bukan hanya mendisiplinkan saja agar mereka dapat mengeksplorasi tubuh mereka” tutur Heni Siswantari.
Hal ini menunjukkan bahwa tari adalah sarana untuk memahami diri, budaya, dan ekspresi individu. Dengan pendekatan yang lebih holistik, pengajaran tari dapat menjadi ruang bagi anak didik untuk menemukan jati diri mereka, mengembangkan kreativitas, dan membangun kepercayaan diri.
Sementara itu, Indiah Wahyu Andari selaku Direktur Rifka Annisa-Women’s Crisis Center menyoroti perlunya penegakan aturan dalam berkarya. Menurutnya, batasan-batasan yang jelas dapat menciptakan lingkungan yang sehat bagi para seniman. Dengan adanya struktur yang baik, proses kreatif menjadi lebih terarah dan terjaga, sehingga karya yang dihasilkan pun lebih berkualitas. Ini menciptakan ekosistem di mana para penari dan seniman lainnya dapat berkembang dengan aman dan produktif. Keinginan untuk membangun lingkungan berkarya yang sehat sangat penting untuk memastikan bahwa seni dan tari tetap menjadi medium ekspresi yang positif dan memberdayakan.
“Menurut kami perlu adanya penegakan terhadap aturan main dalam berkarya mengenai batasan-batasan dalam bertindak, selain itu diperlukan keinginan untuk membangun lingkungan berkarya yang sehat. Kami percaya bahwa jika prosesnya baik maka karya yang dihasilkan akan ikut sehat juga” ujar Indiah Wahyu Andari selaku Direktur Rifka Annisa-Women’s Crisis Center.
Galih Prakasiwi mengangkat isu penting mengenai kekuasaan dalam dunia tari, yang sering kali menjadi topik yang terabaikan. Dalam pandangannya, kekuasaan dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari sutradara dan koreografer hingga penonton. Dalam banyak kasus, penari terutama perempuan sering kali terjebak dalam konstruksi sosial yang menjadikan mereka objek seksual.
“Pentingnya menyadari peran struktural sosial dalam konteks ini tidak bisa diabaikan. Dengan memahami bagaimana norma dan ekspektasi tersebut terbentuk, kita dapat mulai mengidentifikasi cara-cara untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif dan mendukung bagi penari. Ini bukan hanya tentang kebebasan berekspresi, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan di mana penari dapat merasa aman dan dihargai.”
Pertanyaan berikutnya adalah di mana letak 'ruang aman' bagi penari? Apakah ada tempat di mana mereka dapat merayakan kemerdekaan tubuh tanpa merasa terancam atau terobjektifikasi? Putu Aristadewi sebagai seorang koreografer menekankan bahwa persepsi dapat menjadi masalah ketika diekspresikan dalam tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Meskipun demikian, objekifikasi tubuh tetap tidak dapat dibenarkan.
“Hal ini menunjukkan bahwa penting untuk menyadari dampak dari persepsi yang terbentuk, serta memastikan bahwa ekspresi seni tidak menjadikan individu sebagai objek yang dirugikan. Beberapa penari mungkin menemukan kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui tari, yang lain mungkin merasa terjebak dalam tuntutan untuk memenuhi standar estetika yang sering kali patriarkis dan mengekang.”
Melalui dialog yang terbuka, diharapkan sarasehan ini dapat memfasilitasi diskusi tentang peran tubuh dalam tari sebagai medan kekuasaan sekaligus kerentanan. Penari dan penonton diundang untuk merefleksikan posisi mereka dalam struktur sosial yang lebih besar dan mempertimbangkan bagaimana tari dapat berfungsi sebagai alat untuk mengubah narasi tersebut.
Dengan mengangkat tema ini, sarasehan "Membentang Sensualitas dan Arena Kekuasaan Tubuh dalam Tari" bertujuan untuk menciptakan kesadaran kolektif akan tantangan yang dihadapi oleh penari dalam konteks sosial saat ini. Dalam perjalanan ini, kita diharapkan dapat menemukan cara untuk menghargai tubuh sebagai medium ekspresi yang kuat, sekaligus memberi penari ruang aman untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut akan penilaian atau kekerasan.