(Yogyakarta, 20/6/2025) — Pertunjukan teater "Mau Kemana Lagi?" dari kelompok Tarikatur menjadi penutup yang menggugah dalam rangkaian Parade Teater Linimasa #8, yang digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Disutradarai oleh Hanif Joaniko Putra, pementasan ini menyoroti isu krusial: konflik agraria dan ketimpangan sosial yang semakin marak di wilayah perkotaan, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengambil latar kisah warga kampung yang terjebak dalam janji manis para pemilik kuasa, pertunjukan ini mengupas ironi, bagaimana kekuasaan yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi alat penindasan. Dengan pendekatan teater gerak dan tari, setiap adegan tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga menyentuh secara emosional. Ekspresi tubuh dan sentuhan satire memberi kesan ringan, tanpa mengurangi bobot kritik sosial yang tajam.
Salah satu adegan paling menyentuh menggambarkan perjuangan seorang ibu mempertahankan kampung tempat ia tinggal. Harapannya sederhana: melihat anaknya tumbuh sehat dan suatu hari memiliki sebidang tanah sendiri. Sosok ibu ini menjadi simbol kasih, keteguhan, dan harapan yang tak pernah padam di tengah tekanan sistemik. Ia mewakili wajah banyak warga lokal Yogyakarta yang harus melepas tanah dan rumah demi "ganti rugi" yang jauh dari layak, sebuah penggusuran halus bermodal uang receh.
Namun pementasan ini tidak hanya membicarakan konflik luar; ia juga menyelami dinamika internal masyarakat. Disorot pula permasalahan seperti penyalahgunaan minuman keras dan konflik antar keluarga yang memperlemah solidaritas warga. Di tengah keterbatasan, si ibu berusaha menyembuhkan luka sosial: ia mengganti botol miras dengan buku, tindakan sederhana yang bermakna besar. Ini adalah bentuk perlawanan senyap, namun kuat, yang menegaskan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil.
Sayangnya, segala daya upaya untuk mempertahankan ruang hidup tidak cukup. Satu per satu bangunan kampung mulai diruntuhkan oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Ketika kesadaran kolektif mulai tumbuh, segalanya telah terlambat. Yang tersisa hanyalah kehilangan: rumah, tanah, dan penghidupan telah lenyap. Narasi berubah dari perjuangan menjadi peringatan nyata bahwa kekuasaan yang timpang mampu merampas segalanya.
"Mau Kemana Lagi?" secara gamblang memotret ketidakadilan struktural—di mana aktor-aktor kekuasaan tampil bukan sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai pelaku penindasan. Dalam dunia yang seharusnya menjunjung keadilan, rakyat kecil justru menjadi korban permainan elit dan sistem yang timpang. Ketika warga memahami hak-haknya, mereka tak mudah dimanipulasi atau diperalat. Sebaliknya, mereka bisa berdiri sejajar, menuntut yang seharusnya menjadi milik mereka bukan sekadar menerima nasib yang dipaksakan.
"Mau Kemana Lagi?" adalah panggung perlawanan, suara dari yang terpinggirkan. Ia menyuarakan urgensi untuk menjadi warga yang sadar, kritis, dan berdaya agar kita tidak lagi hanya bertanya "mau ke mana lagi?", tetapi mampu memilih jalan kita sendiri dengan kepala tegak.