(Yogyakarta, 11/6/2025) — Panggung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta kembali bergemuruh oleh antusiasme publik dalam gelaran Pentas Rebon edisi Juni 2025. Ribuan penonton memadati ruang pertunjukan yang malam itu menyuguhkan tiga wajah panggung tradisi sekaligus: Kethoprak, Teater, dan Dagelan Mataram. Dalam satu malam, lintas ekspresi itu menggiring hadirin menyusuri satir, tragedi, hingga komedi dengan tetap berpijak pada semangat lokal yang tak lekang oleh waktu.
Tak kurang dari 1.000 penonton hadir malam itu. Tikar batik, kursi penuh sesak, dan antrian panjang di lobi menjadi saksi bahwa kesenian tradisional masih punya denyut kuat di jantung masyarakat. Dengan panggung megah dan tata cahaya dramatik, pertunjukan malam itu dibuka secara gemilang oleh Kethoprak “Kembang Bangke” dari Gunungkidul, arahan sutradara Alfian.
Kembang Bangke: Intrik, Ambisi, dan Parodi Kolonial
“Kembang Bangke” bukan sekadar lakon. Ia adalah cermin dari panggung kesenian itu sendiri penuh intrik, ambisi, dan perebutan sorotan. Mengangkat latar era kolonial, pertunjukan ini membuka sisi kelam Kethoprak Ongke tradisi yang dahulu tumbuh di sela-sela hegemoni kekuasaan. Di balik kemolekan pertunjukan, rupanya tersembunyi persaingan brutal demi peran utama.
Alfian sebagai sutradara menggarap naskah dengan pendekatan simbolik dan satiris. "Kembang Bangke" yang dalam tafsir bebas bisa dimaknai sebagai keindahan yang menipu menjadi metafora dari ego dan kepalsuan di balik pentas. Para aktor tampil mengesankan, membalut pertunjukan dengan nuansa Jawa yang kental, sekaligus menyentil dinamika sosial hari ini. Penonton diajak menertawakan—sekaligus merenungi ambisi manusia yang kerap melampaui batas nalar dan etika.
Topeng Menjelang Fajar: Kekuasaan yang Menggerus Nurani
Selepas jeda singkat, suasana panggung berubah drastis saat giliran kelompok teater dari Bantul tampil membawakan lakon “Topeng Menjelang Fajar”. Sutradara Agung menyuguhkan karya yang kelam dan menyayat. Bercerita tentang seorang kepala desa yang rela menumbalkan keluarganya demi kekayaan instan lewat pesugihan, pementasan ini menyuguhkan narasi getir tentang kekuasaan yang memakan nurani.
Dengan desain panggung minimalis namun efektif, bayangan, lampu sorot tajam, dan iringan suara gamelan kontemporer membalut suasana mencekam. Akting para pemain mencengkeram emosi penonton. Isak tangis terdengar dari beberapa sudut. Penonton seolah diajak menelisik batas-batas antara nafsu dan nilai, antara kemenangan dan kehilangan. Tak sekadar menonton, mereka menyelami dan barangkali juga bercermin.
“Topeng Menjelang Fajar” adalah tamparan halus namun menyakitkan atas kondisi masyarakat hari ini. Ia menyuarakan peringatan, bahwa harga dari keserakahan bisa lebih mahal dari sekadar kehilangan, ia bisa menggerus kemanusiaan itu sendiri.
Jumbo: Tawa yang Menyimpan Luka
Menutup malam adalah Dagelan Mataram bertajuk “Jumbo (Jumpa di Bong)” dari tangan jenaka namun tajam milik sutradara Ari Poernomo. Dengan gaya guyon parikena khas Mataraman, lakon ini memadukan komedi dan tragedi dalam satu sulaman kisah cinta yang ganjil sekaligus getir.
Cerita mengangkat pasangan muda-mudi yang cintanya tidak direstui, dan berakhir tragis: bertemu di "Bong", pemakaman Tionghoa, sebagai titik temu terakhir. Tapi lewat humor yang cerdas dan paduan bahasa Jawa yang hidup, kisah ini tidak lantas jatuh menjadi melodrama. Sebaliknya, ia menjadi kanal untuk menyampaikan pesan mendalam tentang cinta, restu, dan takdir dengan cara yang ringan namun mengena.
Ari Poernomo berhasil menjaga keseimbangan antara lelucon dan luka. Penonton dibuat tertawa, namun saat pulang, mereka membawa pulang perenungan. Tentang betapa seringnya kisah tragis dibalut dalam tawa agar lebih mudah diterima.
Pentas Rebon bukan sekadar acara rutin. Ia menjadi ruang rehat dari hiruk-pikuk kehidupan kota, sekaligus jendela untuk mengintip wajah-wajah kehidupan lewat panggung. Dari ambisi, keserakahan, hingga cinta yang kandas, malam itu panggung Concert Hall menjelma menjadi ruang refleksi massal.
Taman Budaya Yogyakarta, sebagai penyelenggara, kembali membuktikan bahwa tradisi bukan sekadar pusaka yang dipajang. Ia bisa hidup, bernapas, dan terus tumbuh selama ada ruang untuk berpentas dan publik yang bersedia menyimak. Dan malam itu, lebih dari seribu pasang mata bersaksi, bahwa seni tradisi masih punya kekuatan untuk menyentuh, menyadarkan, dan menyatukan.