(Yogyakarta, 20/6/2025) – Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta kembali menjadi saksi gelaran Parade Teater Linimasa #8 yang tahun ini mengangkat tema “Tanah, Pewarisan, dan Problematika (Ruang Tinggal)”. Parade teater yang diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2025 ini menyuarakan persoalan sosial yang semakin relevan di tengah perkembangan kota. Acara ini bukan hanya pertunjukan seni, tetapi menjadi ajang refleksi bersama antara seniman, penonton, dan masyarakat luas.
Digelar dalam satu hari penuh dengan tiga pertunjukan, Parade Teater Linimasa #8 menyuguhkan pengalaman teater yang intens bagi penonton dan pelaku seni. Sejak sore, pengunjung diajak berinteraksi dalam suasana hangat, menikmati pertunjukan yang menyuarakan isu sosial dan budaya.
Kepala UPT Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati menyampaikan bahwa terdapat 15 proposal yang masuk, yang kemudian melalui proses seleksi ketat hingga terpilih 3 kelompok teater. Ketiga kelompok ini dipandang mewakili semangat dan representasi generasi teater Yogyakarta tahun 2025.
“Acara ini tidak hanya menjadi wadah bagi para seniman, tetapi Menjadi titik temu ide kreatifitas dan eksperimen teater lintas generasi. tetapi juga mencerminkan sebagai ruang dialog publik terhadap persoalan sosial budaya, terutama terhadap pewarisan isu tanah, dan ruang tinggal yang menyadarkan ruang kolektif masyarakat tentang pentingnya pengelolaan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan” ungkap Kepala UPT Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati saat pembukaan Linimasa #8.
Dalam sambutannya saat membuka Parade Teater Linimasa #8, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi menyampaikan apresiasi kepada narasumber dan berharap bahwa malam pertunjukan ini bisa menjadi momentum reflektif bersama, khususnya dalam meresapi isu-isu seputar tanah, pewarisan, dan ruang tinggal. Ia menekankan bahwa pertunjukan ini bukan sekadar hiburan tunggal, melainkan sarat dengan pesan-pesan kritis yang disampaikan secara puitis.
“Seni teater memiliki kekuatan untuk menyuarakan berbagai persoalan sosial yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat sekitar Yogyakarta, mulai dari isu warisan budaya, kekerabatan, adab, hingga konflik kepentingan” ujar Dian Lakshmi Pratiwi. Ia juga berharap kegiatan ini dapat mendorong pengelolaan warisan yang lebih bijak, adil, dan beradab di masa mendatang.
Parade Teater Linimasa #8 dibuka dengan sesi pertama yang dimulai pukul 16.00 WIB, menampilkan Teater SD Tumbuh lewat pertunjukan berjudul “Planeto” yang disutradarai oleh Paksi Rahas Alit. Pertunjukan ini menjadi suguhan eksperimental yang memadukan elemen musik, gerak, visual, dan dialog dalam sebuah format teater yang segar. Tidak hanya menyuguhkan cerita, Planeto menghadirkan imajinasi anak-anak tentang situasi di sekitar mereka, khususnya Kota Yogyakarta, melalui sudut pandang yang polos namun sarat makna. Eksplorasi kreatif ini berhasil membawa penonton masuk ke dalam dunia anak-anak yang penuh warna dan refleksi sosial, menjadikannya pembuka yang kuat dan berkesan dalam rangkaian parade kali ini.
Dalam pertunjukan tersebut, para pemain menyampaikan pesan kuat mengenai kondisi bumi yang kian memburuk. Mereka menggambarkan bagaimana pohon-pohon mengering, udara tercemar, dan sampah menyebar di mana-mana, menandakan bahwa kehidupan di planet ini semakin terancam. “Pohon besar itu menjadi simbol harapan terakhir, namun kini kondisinya semakin melemah. Setiap detik membawa kita lebih dekat pada kehancuran,” begitu lirik dari musikali yang disampaikan di atas panggung. Meskipun situasinya tampak suram dan harapan seolah sirna, muncul secercah cahaya melalui sosok roh pohon yang menyampaikan pesan penuh harapan: “Masih ada harapan di balik cakrawala. Temukanlah harapan itu di ujung pelangi.”
Melalui balutan seni dan kreativitas, pertunjukan ini mengajak penonton untuk merenungkan pesan yang disampaikan. Isu-isu seperti sampah menjadi sorotan utama, mengingatkan kita bahwa permasalahan lingkungan tidak bisa dihindari begitu saja. Sebaliknya, kita ditantang untuk menghadapi persoalan tersebut dengan keberanian dan kebijaksanaan. Ajakan untuk menaklukkan dan membersihkan sampah menjadi simbol dari upaya kolektif dalam menciptakan kembali dunia yang layak huni sebuah “planeto” yang bersih dan penuh harapan.
Sesi kedua yang berlangsung pada pukul 20.00 malam menghadirkan pertunjukan dari Perkumpulan Seni Nusantara Baca dengan judul Tanah Warisan, di bawah arahan sutradara Landung Simatupang. Pementasan ini menyoroti perbedaan pandangan antara seorang ayah dan anaknya mengenai tanah warisan. Pertunjukan menggambarkan bahwa meskipun generasi terdahulu cenderung berpijak pada nilai-nilai leluhur, bukan berarti generasi sekarang tidak bisa berperan. Justru penting untuk mengelola dan memanfaatkan warisan tersebut secara bijak agar tetap memiliki nilai dan manfaat, bukan sekadar dijaga tanpa tindakan nyata.
Fenomena semacam ini memang masih kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pementasan tersebut, diperlihatkan pula bagaimana keserakahan bisa muncul dari orang-orang terdekat. Salah satu tokoh, yakni ibu dukuh, digambarkan sebagai sosok yang memanfaatkan konflik keluarga demi kepentingan pribadi. Ia memprovokasi dengan menyebarkan kabar bahwa sang anak berniat menjual tanah milik orang tuanya, sehingga memperkeruh situasi dan memperlihatkan wajah manipulatif di balik konflik tersebut.
Selanjutnya, penampilan terakhir dari Tarikatur dengan judul "Mau Kemana Lagi?" yang disutradarai oleh Hanif Joaniko Putra, menyuguhkan cerita yang menyoroti pentingnya mempertahankan tanah tempat kita berpijak. Pertunjukan ini menggambarkan realitas yang kerap terjadi di kota-kota besar, di mana tanah milik warga dapat berpindah tangan kepada pihak yang lebih berkuasa. Dalam alur cerita, ditunjukkan bagaimana masyarakat kerap terperdaya oleh janji-janji manis yang pada akhirnya justru membawa penderitaan. Mereka yang seharusnya membantu justru menjadi bagian dari penindasan, memperlihatkan wajah ketidakadilan dalam persoalan penguasaan lahan.
Dalam kisah yang dipentaskan oleh Tarikatur, ditampilkan sosok seorang ibu yang gigih membangun lingkungan yang sehat demi masa depan anak-anak di kampung tercintanya. Usahanya perlahan membuahkan hasil, hingga ia nyaris berhasil menciptakan sebuah kampung yang sehat dan adaptif. Namun, kondisi tersebut tak berlangsung lama. Keharmonisan kampung itu terguncang ketika muncul sosok misterius yang berhasil membujuk warga dengan iming-iming uang. Warga pun tergoda, dan akibatnya mereka kehilangan tanah yang selama ini mereka jaga.
Linimasa #8 bukan hanya menghadirkan seni pertunjukan, tapi juga mendorong kesadaran kolektif tentang pentingnya ruang hidup yang adil dan berkelanjutan. Tiga pertunjukan yang ditampilkan menyoroti berbagai dimensi persoalan tanah—baik sebagai warisan budaya, simbol lingkungan, maupun ruang hidup yang terus terancam.
Tiga pertunjukan teater ini mengajak penonton merenungkan realitas sosial di sekitar, khususnya Yogyakarta. Melalui karya seni yang sarat nilai budaya dan sejarah, Taman Budaya Yogyakarta menegaskan perannya sebagai ruang ekspresi sekaligus refleksi, dengan menyampaikan pesan edukatif yang menggugah kesadaran bersama.