(Yogyakarta, 12/08/2025) – Hiburan instan dan budaya pop modern kini merajai ruang tontonan masyarakat. Namun, di balik gemerlap itu, kesenian lawak tradisional khas Yogyakarta, Dagelan Mataram, berjuang keras untuk tetap eksis. Seni lawak yang dahulu menjadi “kembang lambe” dan selalu dirindukan penonton, kini menghadapi kenyataan pahit, panggungnya semakin jarang, penontonnya makin berkurang. Pertanyaan pun muncul, akankah dagelan ini terus mekar, atau justru kempis ditelan zaman?
Pertanyaan itu menjadi semangat utama Sarasehan Seni Budaya Dagelan Mataram yang digelar di Ruang Sidang Taman Budaya Yogyakarta pada Selasa (12/9). Sarasehan ini mempertemukan seniman senior, budayawan, akademisi, praktisi seni, dan anggota legislatif untuk membicarakan masa lalu, masa kini, dan masa depan dagelan Mataram.
Tantangan di Era Digital
Popularitas Dagelan Mataram kian meredup, kalah bersaing dengan hiburan yang lebih cepat viral di media sosial. Video lucu berdurasi singkat mampu menghibur jutaan orang dalam hitungan detik, sementara dagelan memerlukan panggung, waktu, dan interaksi langsung dengan penonton. Kondisi ini menjadi bahan renungan: bagaimana Dagelan Mataram dapat bertahan, beradaptasi, dan menemukan tempatnya di tengah arus hiburan modern, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai warisan budaya?
Salah satu gagasan yang mengemuka adalah memberikan jadwal tetap bagi Dagelan Mataram untuk tampil setiap bulan. Tidak sekadar pentas rutin, tetapi juga sarana pemerataan kesempatan bagi seluruh seniman dagelan. Dengan sistem giliran di tiap kecamatan, kota, dan kabupaten, masyarakat bisa menikmati pertunjukan langsung, sementara pelaku seni mendapatkan panggung layak. Langkah ini diyakini dapat memperkuat apresiasi publik sekaligus menjaga regenerasi dan semangat berkarya.
Suara dari Para Pelaku Seni
Dalam sambutan pembuka, praktisi dagelan Tulis Priyantono mengapresiasi Taman Budaya Yogyakarta yang tetap konsisten menyediakan ruang bagi seniman Dagelan Mataram.
“Taman Budaya Yogyakarta memiliki program AFC Komedi bernama BASKOM (Bocah Ajar Seni Komedi), lahir dari kepedulian terhadap regenerasi seniman,” ujarnya. Ia menambahkan, bahwa kondisi “dagelan kembang kempis” bukan sekadar ungkapan, tetapi kenyataan. Dahulu Dagelan Mataram menjadi tolok ukur pementasan lawak, kini hampir tidak ada instansi yang menampilkannya.
Pengamat seni sekaligus budayawan Isnoercahyo atau Edo Nurcahyo menyoroti perbedaan zaman. Menurutnya, kondisi saat ini tentu tak sama dengan masa lalu. Pelaku seni harus menyesuaikan diri, misalnya memadatkan durasi pentas yang biasanya rata-rata 40 menit dan sering ditempatkan di akhir acara. Akhirnya, porsi mudoroso penyampaian pesan berkurang. Ia memberi contoh pesan budaya dapat dikemas lewat lagu hip-hop atau rap, seperti di Brooklyn, AS.
“Kita harus pandai menyiasati situasi. Gema, musik, irama, dan tradisi tetap harus masuk. Ke depan, kita ditantang tampil dengan durasi padat, didukung visual yang kuat, tata lampu baik, sound system berkualitas, dan penggunaan clip-on terbaik,” tambahnya lagi.
Edo juga berharap Komisi D di DPRD DIY dapat memperjuangkan para pelawak yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya. Salah satu solusi adalah menggelar pementasan rutin di setiap wilayah kabupaten dan kota, agar masyarakat dapat “nanggap” dagelan dan kelestarian seni ini terjaga.
Pentingnya Regenerasi
Seniman sekaligus budayawan senior Sumarwata atau Marwoto Kawer menekankan prinsip sepirah—berputar namun terus bergerak naik. Menurutnya, seniman yang sering diberi panggung akan berkembang, berubah, dan meningkatkan improvisasi.
“Terima kasih kepada Taman Budaya yang sudah membangun PASKO di AFC untuk anak-anak. Di sana mereka belajar seni, mulai dari ketoprak, dagelan, hingga bidang lain. Tapi yang paling penting adalah membangun attitude sejak awal, supaya kelak sikap mereka bisa dipertanggungjawabkan,” ucap Sumarwata.
Harapan dari Legislatif
“Dagelan Mataram ini adalah warisan budaya tak benda yang harus kita jaga, karena di dalamnya ada sejarah, seni, dan identitas Jogja,” ujar Fajar Gegana, S.T. Anggota Komisi D di DPRD DIY. Menurutnya penyelenggaraan Festival Dagelan Mataram masih sangat mungkin dihidupkan kembali asalkan ada regulasi dan anggaran yang jelas, misalnya melalui nomenklatur di dinas terkait atau dana keistimewaan.
Ia mengusulkan agar festival ini menjadi agenda tahunan yang melibatkan seluruh kabupaten dan kota di DIY. Dengan begitu, tradisi tetap terjaga sekaligus menarik minat wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. “Idealnya, festival ini digelar setiap tahun di semua daerah, supaya tradisi tetap hidup, wisatawan tertarik, dan para pelaku seni, baik yang muda maupun senior tetap punya panggung berkarya,” tambahnya.
Menurutnya, pelibatan pelaku seni yang lebih luas akan memotivasi generasi muda untuk ikut terlibat, sementara generasi senior tetap mendapat kesempatan tampil. Ia juga menekankan bahwa Dagelan Mataram memiliki keunikan tersendiri, mudah dikenali, dan layak dipromosikan hingga tingkat nasional.
Sarasehan ini menegaskan bahwa masa depan Dagelan Mataram bergantung pada komitmen bersama antara pelaku seni, pemerintah, dan masyarakat. Dengan dukungan regulasi, panggung yang terjadwal rutin, serta inovasi tanpa meninggalkan akar tradisi, dagelan dapat kembali menjadi “kembang lambe” yang dirindukan. Regenerasi seniman menjadi kunci, agar tawa dan pesan budaya tidak berhenti di generasi sekarang, tetapi terus hidup dan berkembang di tangan penerusnya. Di tengah derasnya hiburan modern, upaya menjaga tawa yang berakar pada kearifan lokal bukan hanya pelestarian seni, tetapi juga pelestarian identitas Yogyakarta itu sendiri.