(Yogyakarta, 15/05/2025) – Di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), sore yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi ruang perayaan yang hangat. Lantunan musik, instalasi visual, dan antusiasme pengunjung menyambut pembukaan Suluh Sumurup Art Festival (SSAF) 2025, sebuah festival seni rupa inklusif yang kini memasuki tahun ketiganya. Tahun ini, SSAF mengusung tema “Jejer”, yang secara harfiah berarti berdiri sejajar, tetapi secara kontekstual menjadi simbol perlawanan, keberanian, dan kesetaraan.
Pembukaan festival dilakukan oleh Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, mewakili Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam sambutannya, Sri Paduka menekankan bahwa “jejer” tidak sekadar kata dalam tata bahasa Jawa yang berarti subjek, tapi merupakan sikap hidup.
“Dalam kehidupan, jejer berarti berdiri tegak, menatap dunia dengan keberanian, dan menjadi diri sendiri tanpa bayang-bayang siapa pun,” ucapnya.
Lebih dari sekadar pameran seni, SSAF adalah panggung pernyataan bahwa seniman difabel bukanlah objek belas kasihan, tetapi subjek aktif yang mampu menciptakan karya setara, bahkan menantang batas-batas estetika konvensional.
Tahun ini, SSAF 2025 menampilkan 193 karya seni rupa dari 131 seniman penyandang disabilitas yang berasal dari 15 provinsi di Indonesia, menciptakan lanskap seni yang plural dan penuh warna. Beragam pendekatan digunakan: mulai dari lukisan, instalasi, patung, seni tekstil, hingga karya multimedia. Setiap karya merepresentasikan pengalaman personal, refleksi sosial, dan identitas kolektif yang jarang mendapat ruang di panggung arus utama.
SSAF 2025 dikuratori oleh tiga nama besar di dunia seni dan budaya: Nano Warsono, Budi Irawanto, dan Sukri Budi Dharma. Ketiganya sepakat bahwa karya seniman difabel harus diposisikan tidak sebagai “seni disabilitas”, melainkan sebagai bagian utuh dari perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Menurut Nano Warsono, pendekatan kuratorial SSAF tidak didasarkan pada simpati, tetapi pada kualitas narasi, teknik, dan konteks.
“Kita tidak sedang membuat ruang khusus untuk seniman difabel. Kita sedang menegaskan bahwa mereka adalah bagian integral dari ekosistem seni nasional,” ujarnya.
Salah satu keunggulan SSAF 2025 adalah keseriusannya dalam menciptakan aksesibilitas. Setiap karya disertai deskripsi audio dan panel taktil. Pengunjung tunanetra bisa meraba sebagian karya yang dirancang khusus untuk pengalaman sensorik. Pengunjung tuli mendapatkan fasilitas juru bahasa isyarat (JBI) di setiap sesi diskusi. Juru bisik juga disiapkan untuk mendampingi tur galeri.
Tidak hanya itu, festival ini juga menyediakan area transit sensorik bagi pengunjung neurodivergen yang membutuhkan ruang tenang. Semua elemen ini disiapkan oleh panitia yang sebagian besar juga merupakan penyandang disabilitas. Artinya, festival ini bukan hanya inklusif dalam program, tetapi juga dalam proses organisasinya.
SSAF 2025 tidak berhenti pada ruang galeri. Festival ini menyajikan serangkaian kegiatan publik yang bersifat partisipatif dan edukatif. Ada workshop membatik dengan seniman netra, kelas bahasa isyarat untuk pemula, literasi sastra difabel, hingga pemutaran film dan pertunjukan musik yang dikurasi secara kolaboratif.
Dalam sesi artist talk, para seniman menceritakan proses kreatif mereka yang penuh tantangan namun juga inspiratif. Bagi banyak peserta, SSAF bukan hanya tempat pamer, tapi juga tempat berbagi dan bertumbuh.
Festival ini terselenggara atas kerja sama antara Dinas Kebudayaan DIY, Paniradya Kaistimewan DIY, dan Kementerian Kebudayaan RI melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menegaskan bahwa SSAF adalah bagian dari komitmen pemerintah untuk membangun budaya yang adil dan inklusif.
“Kita ingin ekosistem seni yang mampu merangkul semua kelompok, termasuk komunitas difabel yang selama ini sering dipinggirkan,” ujarnya.
“Suluh Sumurup” secara harfiah berarti obor yang menyala terang. Nama ini bukan metafora kosong. Di tengah dunia seni yang kadang terlalu elitis, SSAF muncul sebagai cahaya yang menghangatkan dan menuntun ke arah inklusi sejati.
Melalui tema “Jejer”, festival ini mengajak publik untuk menata ulang cara kita memandang perbedaan. Bahwa disabilitas bukan kekurangan, melainkan variasi dari keberadaan manusia yang utuh. Bahwa setiap seniman berhak berdiri sejajar—dengan karyanya, dengan martabatnya, dan dengan kebebasan berekspresi yang setara