(Yogyakarta, 22/04/2025) – Sorotan tajam terhadap perlindungan karya musik di era digital menjadi fokus utama dalam Sarasehan Musik bertema “HAKI: Perlindungan, Pengakuan, dan Penghargaan bagi Seniman/Musisi” yang digelar oleh Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Acara ini mempertemukan pelaku seni, praktisi hukum, akademisi, dan publik kreatif dalam satu forum edukatif yang menyatukan wacana hukum dengan realitas dunia musik.
Acara yang berlangsung di Ruang Seminar TBY sejak pukul 13.00 WIB ini menghadirkan tiga narasumber dari berbagai latar belakang akademisi, praktisi hukum HAKI, dan musisi sekaligus produser untuk menjembatani pemahaman lintas sektor antara dunia seni dan ranah hukum kekayaan intelektual menjadi instrumen penting dalam menjaga marwah dan keberlanjutan karya seni, khususnya di tengah serbuan distribusi digital yang masif dan tidak selalu terkendali.
Yogyakarta sejak lama dikenal sebagai pusat pertumbuhan seni dan musik. Festival seperti Prambanan Jazz Festival dan JogjaROCKarta tidak hanya menjadi wadah ekspresi, tetapi juga menjadikan kota ini sebagai barometer penting perkembangan musik di Indonesia. Namun, sebagaimana disampaikan oleh Setya RKJ selaku perwakilan TBY dalam pembukaan acara, perkembangan ini juga menyisakan tantangan besar masih minimnya perlindungan hukum terhadap karya para musisi.
“Banyak musisi hebat lahir dari kota ini. Tapi sebagian dari mereka belum memahami pentingnya melindungi karya secara hukum. Ini bisa berdampak buruk bagi keberlangsungan karier mereka,” ujar Setya RKJ.
Sebagai narasumber utama, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., pakar HAKI dari Pusat HKI Universitas Islam Indonesia (UII), menyampaikan bahwa HAKI seharusnya tidak hanya dilihat sebagai instrumen hukum, melainkan bagian dari budaya perlindungan terhadap hasil cipta.
“Undang-Undang Hak Cipta di media digital belum tentu menjamin perlindungan karya musik. Diperlukan tiga elemen penting: regulasi yang kuat, penegakan hukum, dan kesadaran budaya masyarakat,” tegas Prof. Budi.
Ia menjelaskan, hak cipta mencakup hak moral dan hak ekonomi. Hak moral memberikan pengakuan kepada pencipta sebagai pemilik sah karya dan melindungi integritas karya dari modifikasi tanpa izin. Sedangkan hak ekonomi memungkinkan pencipta memperoleh penghasilan dari distribusi atau penggunaan karya mereka.
“Tanpa perlindungan HAKI, karya bisa dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa izin, bahkan tanpa atribusi. Ini jelas merugikan musisi secara moral dan finansial,” lanjutnya.
Narasumber kedua, Erira Maharani Putri, S.H., manajer band Gangsadewa dan pegiat HAKI, mengangkat aspek yang jarang dibahas: etika dalam menggunakan karya orang lain. Dalam paparannya, ia menyampaikan bahwa selain pendaftaran legal, ekosistem kreatif yang sehat juga harus dibangun dari kesadaran untuk saling menghormati hak antar-seniman.
“Ada hal yang sangat penting bagi kita sebagai pelaku seni, yaitu kesadaran beretika. Dalam menggunakan karya orang lain, kita seharusnya meminta izin terlebih dahulu. Justru hal ini bisa memicu kreativitas dan mendorong kita untuk lebih mengeksplorasi ide-ide baru secara pribadi,” tutur Erira.
Menurutnya, banyak pelanggaran yang terjadi bukan karena niat buruk, tetapi karena minimnya edukasi hukum dan etika. Ia menekankan pentingnya sinergi antara musisi dan lembaga seperti DJKI dan LMK agar hak-hak musisi bisa terjaga dan dimanfaatkan secara maksimal.
Dari sisi praktisi seni dan industri, Danurseto Bramana Adhi, S.Sn., musisi sekaligus produser musik, membawa perspektif langsung dari lapangan. Ia menekankan pentingnya memahami bahwa dalam satu karya musik terdapat dua lapisan yang harus dilindungi: karya cipta (lirik dan melodi) serta rekaman suara (master).
“Dalam karya cipta musik, ada dua aspek yang dilindungi karya musik seperti lirik dan melodi, serta rekaman suara yang dihasilkan oleh sound recordist. Keduanya memiliki perlindungan hukum masing-masing,” jelas Seto.
Ia mengisahkan pengalaman pribadinya ketika karyanya digunakan di konten digital tanpa izin. Menurutnya, perlindungan terhadap rekaman suara kerap diabaikan, padahal sangat vital dalam industri rekaman, terutama ketika karya mulai dimonetisasi di platform seperti Spotify, YouTube, dan media sosial.
Sepanjang sarasehan, diskusi banyak berputar pada lima manfaat utama HAKI bagi musisi, yaitu:
Penghargaan dan Perlindungan atas Karya Cipta – Musisi diakui secara hukum sebagai pencipta karya, dan orang lain tidak bisa mengubah atau menyebarkan karya tanpa izin
Hak Ekonomi – Karya yang diputar di media, streaming, atau digunakan komersial akan memberikan royalti kepada pencipta.
Kredibilitas dan Pengakuan Profesional – Nama musisi tercatat di database resmi DJKI sebagai pemilik karya.
Perlindungan dari Pembajakan Digital – Memberi dasar hukum untuk menindak penyalahgunaan karya di platform digital.
Potensi Kolaborasi dan Lisensi – Membuka peluang kerja sama dengan label rekaman, brand, maupun media.
Acara ini juga menekankan pentingnya membangun ekosistem musik yang profesional, di mana semua pihak memahami hak dan tanggung jawabnya. Dengan pendaftaran HAKI, musisi dapat memonetisasi karya melalui royalti, lisensi, dan kerja sama komersial yang adil dan transparan.
“Karya musik bukan hanya ekspresi seni, tapi juga aset intelektual yang harus dikelola dengan baik,” kata moderator acara, Angeline Rizky Emawati Putri, S.Sn.
Sarasehan ini bukan hanya kegiatan edukatif, tetapi menjadi wujud nyata komitmen Taman Budaya Yogyakarta dalam mendukung perkembangan industri kreatif yang berkelanjutan. Dengan perlindungan HAKI, musisi tidak hanya sekadar mencipta, tetapi juga diberdayakan untuk bertumbuh secara profesional dan finansial.