(Yogyakarta, 16/09/2024) - Keraton Yogyakarta kembali menggelar tradisi tahunan yang dinantikan, yakni Grebeg Maulud. Acara puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini berlangsung meriah, menyedot perhatian ribuan masyarakat dan wisatawan. Acara ini merupakan perpaduan unik antara tradisi Jawa yang kaya akan simbolisme dan nilai-nilai Islam. Melalui serangkaian ritual dan prosesi yang khidmat, Grebeg Maulud menjadi cerminan identitas dan semangat masyarakat Yogyakarta yang plural dan toleran. Setiap tahun, pada tanggal 12 bulan Rabiul Awal dalam kalender Hijriah, masyarakat merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dengan serangkaian prosesi yang kaya makna dan simbolisme.
Tradisi Grebeg Maulud memiliki akar yang mendalam dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Istilah "Grebeg" berasal dari kata "gumrebeg," yang berarti perayaan. Tradisi ini bermula dari inisiatif Sunan Kalijaga, seorang ulama dan penyebar agama Islam yang sangat berpengaruh di Jawa, dan Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak. Pada abad ke-15, Sunan Kalijaga menggunakan perayaan ini sebagai metode dakwah untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa.
Grebeg Maulud pertama kali diadakan di halaman Masjid Agung Demak, dan acara tersebut meliputi pertunjukan musik gamelan dan wayang kulit. Wayang kulit, yang merupakan media seni tradisional Jawa, dipilih karena kemampuannya untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan religius dengan cara yang menghibur dan mendidik. Pertunjukan ini tidak hanya menjadi sarana dakwah tetapi juga menghibur masyarakat dan mempererat hubungan antara kerajaan dan rakyat.
Keberhasilan metode dakwah ini membuat Grebeg Maulud menjadi tradisi yang diterima dengan baik oleh masyarakat. Sultan Hamengkubuwono I, raja pertama Kerajaan Mataram yang kemudian dikenal sebagai Yogyakarta, mengadopsi dan melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari warisan budaya dan agama di wilayahnya. Dengan cara ini, Grebeg Maulud tidak hanya menjadi perayaan kelahiran Nabi Muhammad tetapi juga simbol dari pengaruh dan penyebaran Islam di Jawa serta sebagai bentuk syukur atas limpahan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap tahun, Grebeg Maulud dirayakan dengan prosesi yang sangat terstruktur dan penuh makna. Acara ini dimulai dengan serangkaian ritual yang dirancang untuk menghormati Nabi Muhammad dan merayakan kemakmuran yang dinikmati oleh masyarakat, di antaranya:
Miyos Gangsa: Prosesi membawa keluar gamelan sekati keramat dari Keraton menuju Masjid Gedhe. Bunyi gamelan ini dipercaya membawa berkah dan kedamaian.
Numplak Wajik: Prosesi pembuatan wajik sebagai isi gunungan, yang melambangkan kehidupan yang diawali dari rahim seorang ibu.
Kondur Gangsa: Prosesi membawa kembali gamelan sekati ke Keraton setelah selesai digunakan.
Bethak: Prosesi memasak nasi yang akan diletakkan di dalam gunungan, melambangkan rezeki dan keberkahan.
Pesowanan Garebeg: Prosesi menempatkan nasi dalam gunungan dan persiapan arak-arakan, melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Arak-arakan Gunungan: Ada enam gunungan yang disiapkan untuk dibagikan kepada masyarakat. Empat gunungan diarak dari Keraton menuju Masjid Besar Kauman, sedangkan dua gunungan lainnya dibawa ke Kantor Gubernur DIY dan Istana Pakualaman. Setiap gunungan berisi berbagai hasil bumi seperti sayur, buah, dan beras, yang kemudian dibagikan kepada masyarakat.
Pembagian Gunungan: Pada saat pembagian gunungan, ribuan orang biasanya rela berdesakan di bawah terik matahari untuk mendapatkan bagian mereka. Tradisi ini dipercaya membawa berkah dan memperlancar rezeki. Masyarakat meyakini bahwa mendapatkan bagian dari gunungan adalah tanda bahwa mereka akan mendapatkan keberuntungan dan kemudahan dalam hidup.
Grebeg Maulud memiliki dimensi spiritual yang kuat. Acara ini menjadi sarana bagi umat Islam untuk memperdalam iman dan meningkatkan ketakwaan. Selain itu, Grebeg Maulud juga memiliki dimensi sosial budaya yang penting. Tradisi ini memperkuat rasa persatuan dan kebersamaan di antara masyarakat Yogyakarta. Melalui Grebeg Maulud, nilai-nilai luhur seperti gotong royong, toleransi, dan penghormatan terhadap leluhur terus dilestarikan. Grebeg Maulud tidak hanya mencerminkan nilai-nilai Islam, tetapi juga nilai-nilai Jawa yang kental. Konsep rukun, gotong royong, dan unggah-ungguh sangat terlihat dalam pelaksanaan tradisi ini. Masyarakat diajarkan untuk hidup rukun, saling membantu, dan menghormati hierarki sosial.
Dalam era globalisasi, Grebeg Maulud menghadapi tantangan seperti perubahan gaya hidup dan pengaruh budaya asing, namun upaya pelestarian yang melibatkan pendidikan untuk generasi muda, dokumentasi tradisi dalam berbagai media, pengembangan pariwisata untuk meningkatkan manfaat ekonomi, serta inovasi melalui media sosial dan keterlibatan generasi muda, terus dilakukan oleh Keraton Yogyakarta, pemerintah, dan masyarakat.
Tradisi ini juga mencerminkan bagaimana budaya lokal dapat berintegrasi dengan ajaran agama, menciptakan sebuah perayaan yang tidak hanya memperingati peristiwa penting dalam sejarah agama tetapi juga memperkuat hubungan antara kerajaan dan rakyat. Grebeg Maulud adalah contoh cemerlang dari bagaimana tradisi dapat berkembang dan bertahan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat. Dengan setiap prosesi dan ritualnya, Grebeg Maulud terus menghubungkan masa lalu dengan masa kini, memperkuat identitas budaya dan religius masyarakat Jawa, dan menunjukkan kekayaan tradisi yang mempesona dan bermakna.