(Yogyakarta, 19/6/2025) — Panggung seni pertunjukan kembali bergema di jantung kota Yogyakarta melalui ajang tahunan Linimasa Parade Teater Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang memasuki edisi ke-8 pada Jumat (20/6). Bertempat di Concert Hall TBY, acara ini menjadi medium pertemuan lintas generasi dan ragam estetika dalam seni teater yang semakin kaya eksperimen.
Tahun ini, Linimasa mengangkat tema besar: Tanah, Pewarisan, dan Problematika Ruang Tinggal. Tema ini bukan hanya menjadi benang merah antara pertunjukan, tetapi juga menjadi pemicu eksplorasi mendalam atas realitas sosial, warisan budaya, dan ketegangan antar generasi yang masih relevan hingga kini.
Tiga kelompok terpilih yang tampil dalam Linimasa #8 antara lain: Teater SD Tumbuh 2 dengan pertunjukan musikal bertajuk Planeto karya sutradara muda Paksi Raras Alit, Perkumpulan Seni Nusantara Baca yang membawakan Tanah Warisan garapan sutradara kawakan Landung Simatupang, dan Tarikatur, kelompok yang memadukan seni gerak dan teater dalam karya Mau Kemana Lagi?, diarahkan oleh Hanif Joaniko Putra.
Linimasa Parade Teater TBY 2025 dibagi menjadi dua sesi utama. Sesi pertama dimulai pukul 16.00 WIB dengan penampilan dari Teater SD Tumbuh 2, yang dirancang agar bisa dinikmati oleh penonton keluarga dan anak-anak. Sesi kedua digelar pada malam hari dengan penampilan dari Perkumpulan Seni Nusantara Baca dan Tarikatur yang membawa tema dan pendekatan lebih kompleks.
Seleksi Ketat, Eksperimen Tanpa Batas
Menurut Kepala TBY, Purwiati, ajang Linimasa memang dirancang sebagai laboratorium eksperimentasi bagi para seniman teater. Ia menjelaskan bahwa proses seleksi sangat kompetitif, dengan lebih dari 15 proposal masuk dari berbagai kelompok di seluruh Indonesia.
“Yang kami cari bukan hanya teknis pertunjukannya, tapi keberanian mereka dalam merancang konsep baru. Linimasa adalah ruang di mana keberanian berproses dan eksplorasi menjadi nilai utama,” ujar Purwiati dalam konferensi pers.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa TBY ingin memberikan ruang yang lebih terbuka bagi para pekerja teater, terutama generasi muda, untuk mengekspresikan kegelisahan mereka melalui panggung.
“Semoga Linimasa menjadi ruang apresiasi baru, terutama bagi masyarakat Jogja yang dikenal memiliki apresiasi tinggi terhadap seni pertunjukan,” tambahnya.
Perjumpaan Estetika Tiga Generasi
Salah satu kurator Linimasa #8, Elyandra Widharta, menyebutkan bahwa ketiga kelompok terpilih mewakili pendekatan berbeda terhadap tema besar yang diusung. Dari drama musikal, teater realisme hingga dance theatre, perbedaan ini justru menjadi kekuatan yang memperkaya pengalaman penonton.
“Yang menarik, mereka bukan hanya datang dari latar belakang genre yang berbeda, tapi juga dari generasi yang berbeda. Ini membuat pertunjukan jadi semacam ruang pertemuan lintas zaman. Ada penonton anak-anak, remaja, sampai dewasa yang bisa menikmati dari sisi yang berbeda,” ungkap Elyandra.
Teater SD Tumbuh 2, misalnya, hadir dengan pendekatan musikal dan visual yang ringan, namun tetap mengandung pesan ekologis dan refleksi tentang masa depan bumi. Sementara itu, Perkumpulan Seni Nusantara Baca menampilkan adaptasi naskah radio dalam balutan realisme dengan penekanan pada kekuatan audio dan narasi.
Kelompok Tarikatur tampil dengan eksplorasi tubuh dan ruang, membawa isu eksistensial dalam bentuk pertunjukan non-verbal yang menggabungkan tarian dan ekspresi teatrikal.
Tanah Warisan: Konflik Nilai dalam Keluarga
Salah satu pertunjukan yang paling dinanti adalah Tanah Warisan dari Perkumpulan Seni Nusantara Baca. Pemeran sekaligus anggota kelompok, Patah Ansori, menjelaskan bahwa karya ini diadaptasi dari naskah radio berbahasa Jawa karya Syamsu Setiaji, dan kemudian diterjemahkan serta dipentaskan oleh Landung Simatupang.
“Kami ingin mengangkat konflik nilai yang sering terjadi dalam keluarga Indonesia antara orang tua yang memegang prinsip warisan leluhur tidak boleh dijual, dan anak muda yang memandang tanah hanya sebagai aset ekonomi,” ujar Patah.
Konflik ini digambarkan dengan kuat melalui dialog dan suara, menciptakan pengalaman mendalam tanpa perlu banyak properti panggung. Pendekatan ini mempertegas bahwa teater bukan hanya soal visual, tetapi juga kekuatan cerita dan suara.
Di tengah dinamika Yogyakarta yang kian padat oleh pembangunan dan derasnya arus komersialisasi ruang hidup, Parade Teater Linimasa #8 menjadi ruang kontemplatif yang menyuarakan kegelisahan akan tanah, warisan, dan identitas. Panggung-panggung kecil ini tak hanya mempertanyakan siapa yang berhak atas tanah dan budaya, tetapi juga menawarkan tafsir alternatif atas persoalan sosial yang kian relevan. Harapannya, Taman Budaya Yogyakarta tak hanya menjadi rumah bagi para seniman, tapi juga menjadi titik temu ide, ruang pertemuan gagasan dan eksperimen teater antar lintas generasi.