(Yogyakarta, 16 Juli 2025) — Pagelaran Pentas Rebon kembali digelar meriah dan disambut antusiasme publik dalam edisi Juli 2025. Setiap bulan, pentas Rebon selalu berhasil memadati ruangan dengan penontonnya. Kali ini, penampilan berlangsung di Gedung Societeit Militaire Taman Budaya Yogyakarta pada Rabu malam. Malam itu, panggung menghadirkan tiga wajah tradisi sekaligus: Kethoprak, Dagelan Mataram, dan Teater. Ragam ekspresi yang disuguhkan dalam satu malam berhasil menggiring penonton merasakan satir, tragedi, hingga komedi, tanpa meninggalkan akar tradisi yang tetap terjaga.

Lebih dari lima ratus penonton turut menyaksikan pertunjukan malam itu. Tak hanya memenuhi kursi di dalam gedung, panitia juga menggelar tikar batik bagi penonton yang kehabisan tempat duduk, serta menyiapkan layar besar di area lobi. Antusiasme ini menjadi bukti kuat bahwa kesenian tradisional masih mendapat tempat di hati masyarakat. Panggung megah dengan tata cahaya yang menawan mengawali malam tersebut lewat pementasan Kethoprak “Balung Kuning” arahan sutradara Sindu Murti.

Balung Kuning: Ambisi, Pengorbanan, dan Laku Kehidupan di Panggung Tradisi

“Balung Kuning” bukan sekadar pementasan biasa, melainkan cerminan dari kesenian tradisional yang sarat konflik batin, ambisi tersembunyi, dan pertarungan nilai di tengah keragaman budaya. Lakon ini mengungkap sisi kelam tentang pengorbanan dan kekuasaan, bagaimana keinginan duniawi bisa mendorong seseorang mengkhianati darah dagingnya sendiri. Cerita yang diangkat menggali nilai-nilai kearifan lokal serta kepercayaan spiritual seperti weton. Di balik kemegahan panggung, terselip kritik tajam mengenai moralitas serta konsekuensi dari setiap perbuatan manusia.

Sebagai sutradara, Sindu Murti menampilkan Balung Kuning melalui pendekatan simbolik yang dipadukan dengan kritik sosial yang tajam. Dalam berbagai penafsiran, balung kuning menjadi simbol kekuatan tak terlihat yang mampu menolak keserakahan dan menegakkan keadilan. Pementasan ini tidak hanya berkisah tentang ambisi dan kekuasaan yang membutakan manusia hingga sanggup mengorbankan orang-orang terdekat, tetapi juga mengajak penonton menyadari konsekuensi dari perilaku tersebut.

Cerita Kethoprak Balung Kuning mengangkat konflik tentang ambisi yang membutakan seseorang hingga rela mengorbankan keluarga sendiri. Dalam kisah ini, Niken seorang gadis muda yang merupakan keponakan tokoh utama, dijadikan tumbal demi mewujudkan tujuan pribadi yang sarat keserakahan. Namun, rencana keji itu berhasil digagalkan oleh kehadiran Pandu Pawongan, seorang sosok dengan weton “Balung Kuning” yang dipercaya memiliki kekuatan penolak bala. Niken berhasil diselamatkan, sementara sosok Ranti yang merencanakan kejahatan akhirnya harus “ngunduh wohing tumindak” atau menuai akibat dari perbuatannya sendiri. 

Pertunjukan semakin hidup dengan penataan panggung yang megah, didukung tata cahaya yang dramatis, serta penggunaan properti tradisional yang memperkuat atmosfer lokal. Latar sederhana namun sarat makna diolah menjadi ruang yang membawa penonton masuk ke dalam suasana cerita. Para aktor tampil mengesankan dengan dialog dan gestur khas Jawa, sembari menyisipkan sindiran halus terhadap realitas sosial masa kini. Penonton tidak hanya disuguhkan keindahan visual dan cerita, tetapi juga diajak merenung tentang bagaimana ambisi yang berlebihan dapat menjerumuskan manusia melewati batas moral dan rasa kemanusiaan.

Ewuh: Mengingatkan Kita Tentang Rezeki, Rasa Syukur, dan Kebersamaan

Pada penampilan kedua malam itu, tampil Dagelan Mataram berjudul “Ewuh” garapan sutradara Tulis Priyantono. Pertunjukan ini menggabungkan komedi segar dengan gambaran kehidupan masyarakat desa, disajikan lewat guyon parikena khas gaya Mataraman. Lakon “Ewuh” menghadirkan suasana pesta kampung yang meriah, dipenuhi obrolan jenaka, konflik ringan, serta dinamika sosial yang mengundang gelak tawa sekaligus mengajak penonton merenung.

Pertunjukan Dagelan Mataram “Ewuh” menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan di Gunungkidul yang kental dengan tradisi guyub rukun. Cerita berpusat pada keluarga Pak Waluyo dan Bu Yuli yang tengah bersiap menggelar hajatan khitanan anak mereka. Suasana kampung mendadak ramai dan penuh keceriaan, apalagi dengan kehadiran bintang tamu kondang, Dimas Tejo atau yang dikenal sebagai Tejo Blangko. Di balik kemeriahan tersebut, cerita juga menyuguhkan ragam dinamika khas warga kampung dari suka duka, kelucuan, hingga gesekan kecil antar karakter, semuanya dibalut dalam komedi satir yang hangat.

Melalui kisah sederhana Ewuh, tersirat pesan yang relevan untuk kehidupan masyarakat masa kini. Cerita ini mengingatkan pentingnya mengajarkan anak-anak tentang menabung dan hidup sederhana, mempersiapkan masa depan dengan bijak tanpa terburu-buru mengikuti gengsi atau pamer kekayaan. Ewuh juga menyentil bagaimana orangtua perlu menanamkan sikap tidak serakah, hidup sesuai kemampuan, dan tidak memaksakan diri menggelar acara hajatan besar hanya demi pujian orang lain.

Lebih jauh, pertunjukan ini mengajak kita semua untuk membangun sikap sebagai warga yang baik. Jika ada tetangga yang mengadakan hajatan, jadikan momen itu sebagai ajang silaturahmi, mempererat tali persaudaraan, makan bersama, bahkan berbagi rezeki. Ewuh menegaskan, hidup bermasyarakat akan lebih indah jika dijalani dengan kebersamaan, saling tolong-menolong, dan tidak memandang status sosial. Karena pada akhirnya, saat semua saling membantu, “wong ewuh” justru menjadi wong kompak.

Tanda Jasa: Melampaui Trauma, Mewariskan Makna

Malam pementasan ditutup dengan penampilan teater Rebon berjudul Tanda Jasa, karya sutradara Taufik Rohman dan Zaki M. Fadil. Drama satu babak ini menyuguhkan refleksi mendalam tentang memori masa perang melalui tokoh Pak Rahmat, seorang veteran tua yang masih bergulat dengan bayang-bayang masa lalu. Trauma, kebingungan identitas, serta perubahan sikap dan emosi tampak menyelimuti dirinya, menghadirkan ketegangan yang halus namun menyentuh. Di sisi lain, kebanggaan Pak Rahmat sebagai mantan pejuang berubah menjadi obsesi untuk menanamkan semangat perjuangan kepada cucu-cucunya, meskipun dengan cara yang cenderung memaksa. Tanda Jasa tampil sebagai penutup yang kuat sekaligus sarat makna, mengajak penonton merenungi arti sebuah jasa, dampak sejarah terhadap generasi penerus, serta pentingnya berdamai dengan masa lalu.

Dengan panggung yang sederhana namun efektif, ditunjang tata cahaya yang dramatis, aransemen musik yang mampu membangun atmosfer haru, serta permainan ekspresi yang kuat dari Pak Rahmat, penonton benar-benar diajak merasakan pergolakan batin seorang veteran. Ekspresi gelisah, tatapan kosong, serta gestur tubuh Pak Rahmat yang tampak stres begitu hidup di atas panggung, menyampaikan pesan tanpa kata. Cerita Tanda Jasa membawa penonton menyelami pergulatan batin Pak Rahmat, seorang veteran perang yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Dalam kisahnya, Pak Rahmat pernah mengambil keputusan yang menyelamatkan dirinya sendiri—ia memilih bertahan hidup demi membawa pulang dokumen penting, sementara rekan-rekan seperjuangannya gugur di medan perang. Dari luar, ia tampak berhasil menjalankan misi dengan embel-embel kepahlawanan. Namun di balik semua pengakuan itu, Pak Rahmat menyimpan luka batin yang dalam: penyesalan karena tidak mampu menyelamatkan teman-temannya.

Keputusan yang dulu dianggap benar, justru menjadi beban yang tak pernah selesai. Hidupnya berjalan dalam pertentangan batin yang terus menghantui. Ia berusaha membangun citra kepahlawanan, namun yang muncul justru pemberontakan nurani yang memelintir persepsi tentang sejarah. Masa lalu yang tidak tuntas itu merusak ketenangan jiwanya, menciptakan sosok yang rapuh di balik gelar kehormatan. Tanda Jasa menjadi panggung yang mengajak penonton memahami, bahwa tidak semua kemenangan di masa lalu membawa kedamaian, dan tidak semua yang terlihat sebagai jasa adalah cerita yang selesai. Ini adalah pengingat bahwa menghadapi masa lalu dengan jujur jauh lebih penting daripada sekadar membangun citra pahlawan.

Pentas Rebon kali ini tidak sekadar menjadi tontonan hiburan, melainkan ruang perenungan tentang ambisi pribadi, kebersamaan warga, dan makna penghargaan atas jasa orang lain. Panggung tidak hanya menampilkan cerita, tetapi juga menyuarakan realitas tentang bagaimana ambisi diri bisa menyesatkan, bagaimana gotong royong menjadi kekuatan masyarakat, dan bagaimana tanda jasa tidak selalu harus dibuktikan lewat pengakuan semu, melainkan lewat tindakan nyata yang bermakna.

Taman Budaya Yogyakarta sekali lagi membuktikan bahwa seni tradisi dapat menjadi ruang pembelajaran bersama, tempat di mana nilai-nilai lama terus hidup sejalan dengan zaman. Di hadapan ratusan penonton malam itu, Pentas Rebon memperlihatkan bahwa tradisi bukanlah warisan kaku yang hanya dikenang, melainkan kekayaan budaya yang tetap relevan—menghidupkan semangat kebersamaan, kesadaran diri, dan penghargaan terhadap jasa sebagai fondasi hidup bermasyarakat.