(Yogyakarta, 22/052025) — Di depan ruang pameran Taman Budaya Yogyakarta, Workshop Literasi Sastra Disabilitas dalam rangkaian Suluh Sumurup Art Fest 2025 menghadirkan suasana yang hangat dan inklusif. Dihadiri oleh penyair Irwan Dwi Kustanto dan Siti Atmaniyah, acara ini menjadi ruang bagi siapa saja terutama penyandang disabilitas untuk berbagi literasi, menyuarakan pengalaman hidup, dan membaca puisi mereka sendiri.

Tahun ini, Suluh Sumurup Art Fest mengusung tema “Jejer”, sebuah kata dalam Bahasa Jawa yang secara harfiah berarti berdiri sejajar. Namun secara kontekstual, “Jejer” mengandung makna yang jauh lebih dalam: tentang subjek yang berani berdiri, yang setara dalam keberadaan dan suara. Tema ini menjadi latar kuat bagi workshop, di mana puisi tidak hanya tampil sebagai bentuk estetika, tetapi juga sebagai pernyataan keberanian dan pengakuan eksistensi.

Alih-alih sebuah kelas menulis formal, workshop ini lebih menyerupai forum terbuka yang dialogis. Partisipan diajak mendalami makna puisi sebagai pengalaman hidup, bukan sekadar produk sastra.

Siti Atmaniyah membuka sesi dengan menggugah kesadaran bahwa puisi lahir dari keseharian dari perasaan, relasi, dan pengalaman batin. Ia mengajak peserta untuk melihat puisi sebagai ruang kebebasan penuh.

“Mental, kejiwaan diri kita, keluarga banyak sekali objek yang bisa dijadikan tulisan berupa puisi. Puisi itu terbuka, tidak ada batasannya. Justru kita sendiri yang menciptakan batasan-batasan sehingga merasa tidak mampu menulis. Padahal cukup membuka pikiran, hati, dan perasaan, serta rajin membaca karya orang lain,” tutur Siti.

Ia menyoroti contoh penyair Dorothea Rosa Herliany, yang bahkan menulis puisi tanpa spasi, sebagai bentuk keberanian mendobrak struktur dan memperluas ekspresi. Sebuah sikap yang sejalan dengan semangat “Jejer” berani tampil sebagai subjek utuh.

Irwan Dwi Kustanto menghidupkan sesi dengan membagikan kisah-kisah pribadinya, bagaimana puisi telah menjadi bagian penting dalam hidup dan relasi sehari-hari.

“Saya ini penyair. Kadang karena tidak punya uang untuk beli pesawat jet sebagai hadiah, ya cukup memberi puisi,” katanya disambut gelak tawa peserta. “Apakah istri saya merasa itu hadiah besar? Entahlah. Tapi bagi saya itu tulus dan bermakna.”

Puisi, menurut Irwan, bukanlah teori belaka, melainkan pengalaman nyata yang dihidupi. “Hari ini, Suluh Sumurup menyajikan satu peristiwa yang sangat penting. Puisi hari ini tidak hanya dibaca, tapi juga dialami,” tegasnya. Dalam konteks tema “Jejer”, Irwan menunjukkan bagaimana puisi dapat menjadi pengikat, penguat, sekaligus saksi keberadaan manusia dalam hidup bersama.

Salah satu kekuatan utama workshop ini adalah keterlibatan aktif penyandang disabilitas, yang tidak hanya hadir sebagai penonton tetapi juga sebagai pembaca puisi dan penyampai pengalaman. Dalam ruang ini, mereka berdiri sejajar mewujudkan makna “Jejer” secara nyata. 

Workshop ini bukan sekadar acara sastra. Ia adalah peristiwa budaya yang mewujudkan tema besar SSAF 2025 “Jejer” melalui praktik nyata: bahwa setiap suara layak didengar, setiap keberadaan layak diakui. Melalui puisi, para peserta tidak hanya mengekspresikan diri, tapi juga membangun keberanian untuk berdiri sejajar dalam kehidupan sosial dan kebudayaan.

“Puisi adalah milik semua orang. Dan hari ini, kita menyaksikan bahwa tidak ada batasan untuk mencintai kata-kata,” pungkas Siti Atmaniyah.

Dengan penyair, komunitas disabilitas, dan pegiat literasi dari berbagai latar belakang, workshop ini menjadi pengingat bahwa sastra bisa menjadi ruang paling manusiawi tempat di mana kita bisa berbicara, didengar, dan bersama-sama berdiri  “Jejer”.