(Yogyakarta, 16/05/2025) — Workshop Bahasa Isyarat yang digelar pada Jumat (16/5/2025) pukul 15.30 WIB di Lobby Galeri Pameran, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), menghadirkan pengalaman belajar yang inklusif dan menyentuh. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Suluh Sumurup Art Festival 2025, sebuah festival seni tahunan yang mengusung semangat pemberdayaan dan keterbukaan bagi semua, tanpa terkecuali.

Dalam semangat inklusi dan pemberdayaan, workshop ini terbuka untuk umum dan ditujukan untuk memperkenalkan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) kepada masyarakat luas. Materi yang diajarkan mencakup sapaan, ekspresi dasar, dan komunikasi sehari-hari, serta pemahaman tentang etika dan budaya Tuli. Semua itu dipraktikkan secara langsung bersama teman-teman Tuli dari komunitas Bawayang, yang juga bertindak sebagai fasilitator utama kegiatan.

Workshop ini bukan sekadar pelatihan komunikasi, melainkan jembatan empati yang menghubungkan dunia Tuli dan pendengar. Sebagaimana tema besar festival tahun ini, "Jéjér", yang dalam bahasa Jawa berarti subjek atau berdiri tegak di atas kaki sendiri, workshop ini menegaskan bahwa inklusi bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan hak setiap individu untuk mengekspresikan diri dan terhubung dengan sesama.



Salah satu momen paling menggugah dalam workshop ini adalah keterlibatan langsung komunitas disabilitas sebagai pengajar. Mereka tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membagikan pengalaman hidup yang autentik. Broto Wijayanto dari komunitas Bawayang, yang bertindak sebagai pengantar dalam sesi pembukaan, menekankan pentingnya interaksi langsung dalam proses pembelajaran.

“Metode yang kami gunakan sesungguhnya metode aplikatif. Di awal dan akhir peserta bertemu dengan saya sebagai pengantar, tapi inti dari workshop ini adalah pertemuan langsung peserta dengan teman-teman tuli. Mereka belajar berisyarat langsung dengan para pengguna bahasa isyarat, karena menurut saya, itu yang paling penting,” ujar Broto.

Menurut Broto, belajar bahasa isyarat tidak cukup hanya dari buku atau teori. Interaksi langsung dengan penyandang tuli memberikan dimensi pemahaman yang jauh lebih dalam. Untuk mendukung pembelajaran yang efektif, peserta dibagi ke dalam kelompok kecil. Fasilitator Tuli lalu berpindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya, menciptakan suasana belajar yang dinamis, akrab, dan personal.

Lebih dari sekadar keterampilan komunikasi, workshop ini menjadi ruang pembelajaran sosial yang mengubah cara pandang. Dalam suasana yang hangat dan inklusif, peserta diajak menyelami dunia tanpa suara di mana gestur, ekspresi wajah, dan tatapan mata menjadi bahasa utama.

“Awalnya saya gugup,” ujar Lestari, salah satu peserta workshop. “Tapi ketika mulai belajar langsung dari teman tuli, saya merasa lebih rileks. Ternyata bahasa isyarat itu sangat ekspresif dan menyenangkan. Rasanya seperti membuka jendela baru dalam cara berkomunikasi.”

Bagi Broto dan timnya, harapan terbesar dari workshop ini adalah menciptakan lebih banyak “telinga tambahan” di masyarakat yakni individu yang mampu menjadi jembatan komunikasi antara dunia Tuli dan dunia dengar. Tujuannya bukan hanya memperluas akses, tetapi juga memperdalam pemahaman antarmanusia.

“Kita ingin memperbanyak ‘telinga’, karena akses informasi untuk teman-teman tuli masih sangat terbatas. Kalau banyak orang bisa berbahasa isyarat, maka ruang partisipasi bagi mereka akan terbuka lebih lebar. Dan ini bukan hanya tugas komunitas tuli saja, tapi tugas kita semua” ujar Broto.

Workshop ini hanyalah satu dari sekian wajah inklusif Suluh Sumurup Art Festival 2025. Festival ini menghadirkan serangkaian kegiatan seperti pameran seni rupa, workshop batik eco print, literasi sastra, hingga pertunjukan seni inklusif. Semua dirancang untuk memberikan ruang ekspresi seluas-luasnya, terutama bagi seniman dengan disabilitas.

Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai ruang pelaksanaan juga bermakna simbolik, bahwa seni adalah milik semua kalangan, dan ruang publik harus menjadi panggung yang setara bagi setiap ekspresi.

Dalam dunia yang masih sangat mengandalkan komunikasi verbal, workshop semacam ini memiliki nilai strategis. Ia memberi ruang bagi mereka yang sering kali tidak terdengar bukan karena mereka tak bersuara, tapi karena sistem belum cukup membuka telinga. Melalui bahasa isyarat, kita diajak mendengar dengan cara yang berbeda.

Workshop Bahasa Isyarat di Suluh Sumurup Art Festival 2025 bukan hanya mengajarkan cara berbicara dengan jari. Ia juga mengajarkan bahwa mendengar bisa dilakukan dengan hati, dan bahwa inklusi sejati lahir dari interaksi yang tulus serta pemahaman yang mendalam. Karena berbicara dengan jari, pada akhirnya, bisa menyambung sampai ke hati.