(Yogyakarta, 23/08/2024) - Pameran Nandur Srawung #11 dengan tema "WASIAT: Legacy." kembali menyuguhkan pengalaman mendalam bagi para pengunjungnya. Kali ini, melalui instalasi seni berjudul "Perpustakaan Wasiat dan Benda Memorabilia" karya Inkuiri: Arts Et Cetera, pengunjung diajak untuk menyelami tragedi 1965 dari sudut pandang yang berbeda. Acara bedah buku yang digelar bersamaan dengan pameran ini semakin memperkaya pemahaman tentang hubungan antara sastra dan politik dalam konteks tragedi 1965, dan bagaimana representasi sastra dapat membantu memahami perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih martabat kemanusiaan di bawah tekanan kekuasaan, sastra dan seni berperan dalam merekam, mengkritik, dan menjaga ingatan kolektif atas peristiwa kelam tersebut.

Buku yang menjadi fokus bedah buku ini mengupas tuntas bagaimana sastrawan Indonesia merespons peristiwa 1965 di tengah hegemoni Orde Baru. Dr. Yoseph Yapi Taum, seorang dosen sastra dan penulis buku, menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, ruang gerak bagi karya sastra yang kritis terhadap rezim sangat terbatas. Namun, para penulis tetap berupaya menyuarakan kebenaran dan keadilan melalui karya-karya mereka, meski harus menghadapi berbagai tantangan dan risiko.

“Pada masa Orde Baru, karya sastra yang mempersoalkan tragedi 1965 tidak banyak diterbitkan. Hal itu dinilai mencederai bangsa dan merendahkan muruah pemerintah. Perhatian terhadap representasi tragedi 1965 dalam karya-karya sastra juga tidak banyak diberikan. Hal itu tidak lain karena selama pemerintahan rezim Orde Baru, pengetahuan tentang tragedi 1965 yang diajarkan di sekolah-sekolah dan disosialisasikan kepada masyarakat hanya berasal dari pengetahuan tunggal, yaitu sumber-sumber resmi kenegaraan” tutur Dr. Yoseph Yapi Taum dosen sastra Universitas Sanata Dharma dan penulis buku.

Instalasi seni “Perpustakaan Wasiat dan Benda Memorabilia” di pameran Nandur Srawung #11 memungkinkan pengunjung untuk mengeksplorasi buku dan benda-benda bersejarah yang terkait dengan tragedi 1965. Buku-buku yang dipamerkan dalam instalasi ini bukan hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai sarana untuk memahami posisi politis sastra dalam konteks perjuangan manusia Indonesia. Buku ini menunjukkan bagaimana sastra tidak hanya mencerminkan tetapi juga berfungsi sebagai alat perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas.

Dalam konteks ini, sastra menjadi medium yang penting untuk mengkritisi dan merefleksikan kekuasaan, memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan, dan mempertahankan martabat kemanusiaan. Buku ini membahas berbagai bentuk tanggapan sastra terhadap hegemoni politis Orde Baru, menunjukkan bagaimana penulis dan karya sastra berjuang melawan narasi yang diciptakan oleh penguasa untuk mengontrol dan memanipulasi persepsi publik mengenai tragedi 1965.

Salah satu tujuan dari instalasi ini adalah menciptakan ruang yang memungkinkan pengunjung untuk menerima dan memproses “wasiat” sejarah. Istilah "wasiat" di sini merujuk pada warisan sejarah dan pengetahuan yang disampaikan melalui buku dan benda-benda bersejarah. Dengan menghadirkan materi yang beragam dan memungkinkan interaksi langsung, instalasi ini memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk menghubungkan informasi dan mendapatkan wawasan baru tentang peristiwa sejarah yang mungkin belum mereka ketahui sebelumnya.

Sastra dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks tragedi 1965. Banyak penulis dan intelektual menggunakan karya-karya sastra untuk merefleksikan dan mengkritisi peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah. Karya sastra sering kali menggambarkan dampak peristiwa tersebut terhadap individu dan masyarakat, menjadikannya alat yang kuat untuk memahami dimensi emosional dan sosial dari tragedi. 

Instalasi ini juga menggarisbawahi pentingnya memelihara ingatan kolektif melalui karya-karya sastra dan benda-benda bersejarah. Dengan cara ini, tragedi 1965 tidak hanya dipahami sebagai peristiwa masa lalu tetapi juga sebagai bagian dari pembelajaran dan refleksi berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Karya Instalasi "Perpustakaan Wasiat dan Benda Memorabilia" yang dipresentasikan dalam Nandur Srawung #11 merupakan sebuah upaya yang patut diapresiasi dalam menjaga ingatan kolektif bangsa. Dengan memadukan unsur seni, sastra, dan sejarah, pameran ini berhasil menghadirkan pengalaman yang mendalam dan menggugah bagi para pengunjungnya. Melalui karya-karya sastra dan seni, kita dapat menemukan kekuatan untuk menghadapi masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.