(Yogyakarta, 11/6/2025) — Di zaman ketika satu klik kamera dapat menangkap cerita, emosi, bahkan memantik kontroversi, dunia fotografi menghadapi tantangan baru. Sarasehan Fotografi bertema "Fotografi di Ruang Publik: Antara Privasi dan Ekspresi", yang digelar di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Rabu siang (11/6), menjadi ruang diskusi yang reflektif bagi para fotografer, pegiat seni, hingga masyarakat umum untuk membedah kembali etika, batasan, dan kebebasan dalam fotografi jalanan.

Bertempat di Ruang Seminar TBY, kegiatan yang berlangsung pukul 12.00–15.15 WIB ini dihadiri oleh beragam kalangan: mulai dari praktisi fotografi, akademisi seni, hingga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Antusiasme peserta mencerminkan besarnya perhatian terhadap isu-isu etis dan sosial dalam praktik fotografi di era digital saat ini.

Acara ini menghadirkan tiga narasumber dengan pendekatan dan latar belakang yang beragam: Novan Jemmi Andrea, M.Sn., Bimo Pradityo, dan Niken Pamikatsih. Dengan pendekatan yang khas, ketiganya memberikan perspektif yang kaya, mulai dari aspek filosofis, sosiologis, hingga etis terkait praktik memotret di ruang publik.

Menjaga Privasi di Tengah Publik

Novan Jemmi Andrea membuka diskusi dengan menyoroti bagaimana batas ruang privat dan publik kian samar, terutama dalam praktik memotret yang begitu mudah dilakukan di era kamera digital dan media sosial.

“Di tengah-tengah ruang publik dan ruang personal itu terdapat privacy. Privacy tersebut sebenarnya berupa kontrol atau selektif. Kita kontrol siapa yang hadir pada diri kita, kita kontrol apa yang akan saya ceritakan kepada orang lain, saya kontrol bagaimana orang lain mengetahui tentang diri saya. Kepentingan dari hal ini yakni untuk melindungi diri kita,” jelas Novan.

Ia menekankan bahwa setiap individu memiliki hak atas dirinya, termasuk bagaimana ia ingin hadir atau tidak di depan kamera. Dalam konteks ini, fotografer dituntut untuk lebih sadar akan batas antara dokumentasi dan pelanggaran.

Terlebih sejak hadirnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang berlaku sejak 2024, gambar seseorang yang dapat mengidentifikasi individu masuk dalam kategori data pribadi. Penyebaran gambar tersebut, khususnya untuk keperluan komersial, harus dilengkapi dengan izin.

Ruang Publik sebagai Ruang Komunal

Bimo Pradityo mengajak peserta untuk memaknai kembali pentingnya ruang publik dalam kehidupan perkotaan. Ia berbagi pengalamannya dalam praktik street photography yang banyak dilakukan di kawasan Kali Code, Yogyakarta.

“Ruang publik itu sangat penting sekali terutama di perkotaan seperti kita ini, karena di kota ini tanpa adanya ruang-ruang terbuka atau ruang publik maka kita akan kehilangan ruang komunal,” ujar Bimo.

Menurutnya, ruang publik bukan sekadar lokasi, tapi juga wadah pertemuan, pertukaran gagasan, dan interaksi sosial. Dalam konteks ini, fotografer memiliki peluang besar untuk menangkap realitas, namun juga punya tanggung jawab moral atas bagaimana gambar tersebut digunakan dan diterima masyarakat.

Intuisi dan Etika Fotografi Jalanan

Sementara itu, Niken Pamikatsih menekankan pentingnya intuisi dan kepekaan sosial dalam praktik memotret di ruang publik. Baginya, fotografer bukan hanya pengamat pasif, melainkan juga bagian dari ruang personal subjek yang ia bidik.

“Yang muncul kepada saya pertama kali ketika memotret di ruang publik adalah menjaga intuisi. Pada ruang tersebut terdapat ruang-ruang personal yang muncul sebagai subjek yang akan kita foto dan kita sebagai fotografer kita adalah bagian dari ruang personal itu,” ujar Niken.

Ruang publik memang memberikan akses dan kebebasan berekspresi bagi semua orang. Namun, lanjutnya, kebebasan itu tetap berpagar etika, norma hukum, serta tanggung jawab sosial agar tidak mengganggu ketertiban maupun kenyamanan sesama pengguna ruang publik.

Mencari Keseimbangan antara Seni dan Sensitivitas

Diskusi yang berlangsung hangat dan interaktif ini memperlihatkan bahwa fotografi jalanan kini tidak bisa dilepaskan dari wacana etika dan hukum. Para peserta — termasuk mahasiswa dan pegiat seni aktif mengajukan pertanyaan serta berbagi pengalaman tentang dilema yang mereka hadapi di lapangan.

Sarasehan ini bukan hanya menjadi ruang bertukar pengetahuan teknis, tapi juga membuka kesadaran baru bahwa dalam setiap jepretan, ada potensi makna, konflik, dan tanggung jawab. Fotografi bukan semata-mata hasil visual, melainkan juga proses memahami, merespons, dan menghormati orang lain.

Sebagaimana ruang publik adalah milik bersama, fotografi yang hadir di dalamnya pun sepatutnya bersumber dari kesadaran kolektif: bahwa lensa kamera punya daya, dan setiap subjek berhak atas martabatnya.